Negara-Negara Dunia Selatan masih Dipandang Sebelah Mata

Peta Global South atau negara-negara dunia selatan (warna merah) yang dipandang masih berstatus negara berkembang. Sumber: Wikipedia
FAKTA.COM, Jakarta - Negara-negara dunia selatan (Global South) hingga saat ini masih dipandang sebelah mata dalam percaturan politik internasional.
Meskipun telah muncul pergerakan malalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 hingga pembentukan G20 dan BRICS, negara-negara Global South masih termarjinalisasi.
Hal itu diucapkan Pakar hubungan internasional asal India, Rajiv Bhatia, dalam forum peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika dengan tema “The Global South in a Shifting World Order” di Jakarta, Rabu (16/4/2025).
"Negara-negara Dunia Selatan masih tidak punya pengaruh dalam pengambilan keputusan global," kata Bhatia.
Karenanya, Rajiv mengakan negara-negara Selatan harus menyusun kembali strategi berdasarkan persatuan demi menghadapi berbagai polemik internasional, dari perang hingga perubahan iklim.
Terlebih, negara-negara Selatan yang sebagian besar negara berkembang masih didera kesulitan untuk melakukan tarnsisi energi, mengembangkan teknologi canggih, hingga berpartisipasi aktif dala membuat keputusan.
"Negara-negara selatan sering jadi korban kebijakan yang diputuskan tanpa partisipasi mereka di dalamnya," kata Bhatia.

Meski demikian, Bhatia mengatakan kini negara-negara Selatan, seperti India dan Indonesia, mempunyai kesempatan besar untuk membangun dan berkontribusi dalam tatanan dunia baru.
Menurutnya, India dan Indonesia dapat memberikan kontirbusi penuh terhadap pusat strategis, bisnis, dan juga media yang membangun modernisasi di dunia yang penuh ketidakpastian.
"India dan Indonesia mempunyai kesempatan baik untuk bekerja sama, terutama dalam perkembangan kerja sama di tatanan dunia baru, seperti kontribusi strategis keamanan, bisnis dan juga perkembangan informasi seperti media," sebut Bhatia.
Mantan duta besar India untuk Myanmar itu juga mengatakan bahwa India kini mengikuti kebijakan yang berprinsip dan pragmatis. Ia menegaskan India siap memberikan kontribusi bagi persatuan dan solidaritas negara-negara berkembang.
Belajar dari Konferensi Asia-Afrika
Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, mengatakan untuk mereformasi tatanan dunia juga harus mengutamakan perubahan pola pikir, alih-alih reorganisasi.
Dalam pidatonya, Marty juga mengkritik penggunaan kalimat “kami adalah jembatan” yang tidak disertai dengan gagasan stabilitas strategis secara rinci seperti yang dilakukan negara-negara Selatan.
“Jembatan macam apa? Anda tidak bisa sekadar mendapatkan peran sebagai jembatan dengan mengulang mantra itu. Anda harus mendapatkan kepercayaan, keyakinan. Reputasi harus diusahakan,” ujar Marty.

Mantan Menlu RI, Marty Natalegawa, dalam dalam forum peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika di Jakarta, Rabu (16/4/2025). Fakta.com/Hanun Rifda
Marty berharap sejarah Konferensi Asia-Afrika terus berlanjut untuk memberikan warisan keberanian, idealisme, visi pemimpin di Global South.
Marty menilai bahwa KAA bukan hanya simbol sejarah, namun juga momen strategis mengubah lanskap pergerakan politik dunia. KAA bukan hanya seremoni, kata Marty, tapi mampu berkontribusi untuk mengubah tatanan dunia yang tidak adil.
“Para pemimpin 1955 tak hanya hadir untuk merayakan konferensi Bandung ya, mereka mampu mengubah tatanan dunia yang tak adil,” ujar Marty.