Beda China dan Vietnam Respons Perang Dagang Trump Kata Pakar

Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif tinggi buat China dan Vietnam. (dok. White House)
FAKTA.COM, Jakarta - Menanggapi kebijakan tarif dagang Trump, China dan Vietnam punya pendekatan berbeda meski keduanya sama-sama dikenakan tarif dagang yang cukup tinggi.
Negeri Tirai Bambu merespons kebijakan Trump dengan kepalan tangan. Seolah menolak melunak, China memberikan tarif retaliasi sebesar 34 persen atas seluruh produk impor dari Amerika Serikat.
“China mengerti betul bahwa menahan kemajuan ekonomi China adalah agenda utama AS untuk mempertahankan hegemoninya. Berdiri gagah melawan adalah pilihan yang rasional,” ujar Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/4/2025).
Sementara itu, Vietnam, alih-alih melawan balik, justru membuka diskusi dengan pihak Amerika Serikat. Bahkan, Vietnam bersedia untuk memberikan tarif nol persen atas produk AS.
“Apa yang dilakukan oleh Vietnam sangat bisa dipahami. AS merupakan tujuan bagi hampir sepertiga ekspor Vietnam, dengan surplus sebesar US$123 miliar tahun lalu,” kata Wijayanto.
Terlebih, Vietnam saat ini sedang dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi dan salah satu penopang terbesarnya adalah ekspor. Menurut Wijayanto, Vietnam menyadari bahwa pengenaan tarif sebesar 46 persen berpotensi merusak momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut.
Wijayanto menambahkan, Indonesia tidak dianggap musuh oleh AS, seperti China. Beda juga dengan Vietnam yang sangat bergantung dengan AS. Saat ini, ekonomi Tanah Air masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yakni sekitar 56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kendati ekspor ke AS berperan penting, tetapi ia hanya mewakili 9 persen total ekspor kita. Apalagi dalam percaturan geopolitik-ekonomi dunia Indonesia telah cukup berhasil memposisikan diri sebagai aktor netral yang punya karakter,” ujar Wijayanto.
Sejalan dengan pernyataan Wijayanto, data menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 9 - 10 persen. Artinya, tidak seperti Vietnam yang sepertiga pangsa ekspornya adalah AS, Indonesia tidak begitu bergantung kepada Negeri Paman Sam itu.
Catatan per Februari menunjukkan ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat mencapai US$2,35 miliar. Jika dibandingkan dengan total ekspor nonmigas sebesar US$20,84 miliar, angka ekspor ke AS mencapai 11,27 persen.
Sementara itu, pangsa ekspor terbesar Indonesia masih ditempati oleh Tiongkok dengan catatan ekspor nonmigas sebesar US$4,29 miliar per Februari ini. Angka ini bahkan hampir mencapai dua kali lipat jumlah ekspor Indonesia ke AS.
Wijayanto menilai Indonesia tidak sedang desperate atau putus asa. Artinya, pemerintah harus bersikap tenang dalam merespon kebijakan Trump, lalu mengeluarkan statement yang terukur, objektif, dan strategis.
“Intinya, dalam situasi serba tidak pasti kita harus tetap berpegang pada prinsip. Kita tidak boleh gampang kagum, gampang kaget, dan gampang terburu-buru; OJO GUMUNAN, OJO KAGETAN, OJO KESUSU,” kata Wijayanto mengutip kalimat Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto.