Ketika Azan Bergema dan Ratusan Warga Belgia Bukber di Gereja

Ratusan orang berkumpul di Gereja Saint-Jean-Baptiste, Brussels, Belgia, untuk mengikuti acara buka puasa bersama, Minggu (23/3/2025). Foto: Istimewa
FAKTA.COM, Jakarta - Sebuah pemandangan tak biasa terjadi di Molenbeek, Brussel, Belgia, ketika ratusan orang berkumpul di Gereja Saint-Jean-Baptiste untuk mengikuti acara buka puasa bersama atau iftar, Minggu (23/3/2025).
Sedikitnya, 500 orang berkumpul untuk berbuka puasa bareng. Bukan cuma Muslim, bukber juga mengikutsertakan warga lintas agama lainnya yang ada di sekitar Molenbeek.
Para peserta ifar berjajar duduk menghadap sejumlah meja yang sudah ditata di dalam gereja. Di atasnya, hidangan berwarna-warni dari berbagai menu dijajarkan.
Sebelum mereka bersantap buka puasa, seorang pemuda Muslim mengumandangkan azan maghrib di dalam gereja itu. Suaranya merdu. Seakan sedang di Hagia Sofia, Istanbul.
Rupture du jeûne à Molenbeek en Belgique... dans l’église Saint Jean-Baptiste. 😳 pic.twitter.com/LOonzDNfZj
— Ulysse 🇫🇷 (@Ulysse8770) March 24, 2025
Jasmine del Monte, Direktur organisasi Stronger with Words sekaligus salah satu peserta, menyebutkan bahwa berbuka puasa di Saint-Jean-Baptiste mencerminkan nilai-nilai inklusivitas dan keterbukaan yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan Molenbeek.
“Di sini, kita menemukan perpaduan lebih dari 140 kebangsaan dengan berbagai bahasa dan latar belakang budaya. Iftar ini adalah wujud nyata persatuan lintas agama, budaya, dan identitas,” ujar Del Monte.
Serunya, perayaan Ramadan tahun ini juga bertepatan dengan perayaan pra-paskah bagi umat Kristiani dan Purim bagi komunitas Yahudi. Menurut Molenbeek for Brussels 2030, ketiga perayaan tersebut memiliki makna yang sama: “momen kebersamaan, solidaritas, dan memperkuat ikatan sosial.”
“Dengan menyelenggarakan iftar di gereja pada awal musim semi, kami ingin menyampaikan pesan kuat bahwa persatuan jauh lebih besar daripada perbedaan yang ada di antara kita,” ujar salah satu warga Molenbeek yang ikut bukber, seperti dikutip Euronews.
Acara tersebut bukan sekadar perayaan Ramadan, tetapi juga bagian dari strategi Molenbeek dalam memperkuat pencalonannya sebagai Ibu Kota Kebudayaan Eropa (ECOC) 2030. Selain itu, iftar bareng dipilih pada tanggal itu sekaligus memperingati 9 tahun pengeboman Brussels yang terjadi pada 22 Maret 2016.
Sejak Oktober 2024, Molenbeek telah resmi masuk dalam daftar kandidat bersama dua kota lain di Belgia, yaitu Leuven dan Namur.
Tahun 2030, Belgia dan Siprus masing-masing akan menunjuk satu kota untuk menyandang gelar prestisius ini.
Gelar ECOC sendiri merupakan program Uni Eropa yang bertujuan merayakan keberagaman budaya dan memperkuat identitas kota-kota di Eropa melalui berbagai acara seni dan budaya sepanjang tahun.
Oui, 9 ans plus tard, nous nous étions à nouveau réunis pour partager un #Iftar dans l’Église Saint-Jean-Baptiste à #Molenbeek.
— Leila Agic (@LeilaAgic) March 24, 2025
Oui, Molenbeek est et sera toujours symbole de partage, d’unité, de cohésion avec son incroyable tissus associatif 🫶🏼
Vous pourrez propagez toute la… pic.twitter.com/1xxXSbtf48
Organisasi Molenbeek for Brussels 2030 melihat pencalonan ibukota tersebut sebagai kesempatan emas untuk mendefinisikan identitas wilayah tersebut. Mereka ingin mengubah stigma lama dengan menunjukkan bahwa Molenbeek adalah pusat multikulturalisme yang saat ini telah hidup dan berkembang.
Fatima Zibouh, salah satu pemimpin kampanye Molenbeek for Brussels 2030, menegaskan bahwa wilayah tersebut telah menghadapi banyak tantangan sosial dan ekonomi. Namun, pencalonan sebagai Ibu Kota Kebudayaan Eropa adalah peluang besar bagi Molenbeek untuk memperkenalkan dirinya kembali kepada dunia.
Molenbeek, yang sempat dikaitkan dengan beberapa asal tempat tinggal pelaku pengeboman di Brussels, ingin membalikkan nama buruk itu ke citra yang lebih baik.
"Kami ingin membalikkan narasi yang selama ini berkembang dan membangun mimpi baru bersama,” ujarnya kepada media Euronews.
Pencalonan ini juga terjadi di tengah meningkatnya polarisasi politik di Eropa, di mana wacana anti-imigran semakin menguat setelah pergeseran politik ke arah kanan dan sayap kanan pada 2024. Zibouh menekankan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi situasi ini.
“Keberanian untuk berbagi, empati, dan kepedulian adalah inti dari kampanye kami,” tambah Fatima Zibouh. (Euronews/Daily Motion/The Bulletin)
Warga Palestina menghadapi krisis selama Ramadan akibat kebijakan Israel, termasuk pembatasan akses ke Masjid Al-Aqsa, penutupan Masjid Ibrahimi, serangan pemukim ilegal, serta pemblokiran bantuan dan listrik ke Gaza.#Palestina #Ramadan pic.twitter.com/wGFqM25fC1
— Faktacom (@Faktacom_) March 11, 2025














