AS Mundur dari Tim Penyelidikan Perang Ukraina, Makin Pro-Rusia?

Ilustrasi Fakta/Putut Pramudiko
FAKTA.COM, Jakarta - Amerika Serikat menarik diri dari koalisi internasional yang bertugas menyelidiki pihak-pihak bertanggung jawab atas perang di Ukraina. Menurut laporan The New York Times, Senin (17/3/2025), Departemen Kehakiman AS udah memberi tahu pejabat Eropa mengenai keputusan AS itu.
Menurut sumber yang mengetahui keputusan tersebut, pemberitahuan resmi dikirimkan melalui email pada Senin (17/3) kepada staf dan anggota organisasi induk kelompok ini, yaitu EU Agency for Criminal Justice Cooperation, yang lebih dikenal sebagai Eurojust.
Langkah itu menandai perubahan arah kebijakan Presiden Donald Trump dari komitmen Joe Biden sebelumnya. Padahal AS termasuk salah satu yang menginisiasi International Center for the Prosecution of the Crime of Aggression against Ukraine pada 2023.
Koalisi tersebut dibentuk untuk menuntut kepemimpinan Rusia, serta sekutunya di Belarus, Korea Utara, dan Iran, atas kejahatan yang dikategorikan sebagai agresi berdasarkan hukum internasional. Kejahatan itu mencakup pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain tanpa adanya tindakan bela diri.
AS adalah satu-satunya negara di luar Eropa yang bekerja sama dengan kelompok tersebut. Bahkan, sebelumnya AS mengirim seorang jaksa senior dari Departemen Kehakiman ke Den Haag Belanda untuk bergabung dengan penyelidik dari Ukraina, negara-negara Baltik, dan Rumania.
@fakta_pangea Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyetujui usulan gencatan senjata 30 hari dengan Ukraina dari AS, namun masih mempertimbangkan situasi di lapangan, terutama di Kurks. Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy meragukan ketulusan Putin, menilai pernyataannya manipulatif dan berpotensi menggagalkan gencatan senjata dengan berbagai syarat tambahan. #GencatanSenjata #RusiaUkraina ♬ original sound - Fakta Pangea
Selain keluar dari koalisi tersebut, pemerintahan Trump juga mengurangi aktivitas War Crimes Accountability Team, sebuah tim yang dibentuk pada 2022 oleh Jaksa Agung saat itu, Merrick B. Garland untuk mengawasi upaya AS dalam menuntut Rusia atas dugaan kekejaman perang.
"Tidak ada tempat bersembunyi bagi penjahat perang," kata Garland saat mengumumkan pembentukan tim tersebut.
Ia menambahkan bahwa Departemen Kehakiman "akan mengejar setiap jalur pertanggungjawaban bagi mereka yang melakukan kejahatan perang dan kekejaman lainnya di Ukraina."
Selama pemerintahan Biden, tim itu membantu jaksa dan penegak hukum Ukraina dengan memberikan dukungan logistik, pelatihan, serta bantuan dalam penyelidikan dugaan kejahatan perang Rusia.
Pada Desember 2023, jaksa AS untuk pertama kalinya dalam hampir 30 tahun menggunakan undang-undang kejahatan perang untuk mendakwa empat tentara Rusia atas penyiksaan terhadap seorang warga Amerika di Kherson Ukraina.
Pemerintahan Trump tidak memberikan alasan spesifik atas keputusannya untuk menarik diri dari kelompok investigasi tersebut. Namun, keputusan itu mencerminkan kebijakan AS di bawah pemerintahan Trump lebih pro terhadap Rusia.
Sumber yang mengetahui keputusan itu menyebut langkah tersebut diambil karena adanya kebutuhan untuk mengalihkan sumber daya ke tempat lain. Sumber-sumber itu meminta namanya dirahasiakan karena tidak berwenang membahas keputusan itu secara terbuka.
Sejak Trump menjabat, Departemen Kehakiman AS juga telah membubarkan unit yang menangani dugaan campur tangan asing dalam pemilu AS, termasuk yang melibatkan Rusia, serta penegakan sanksi terhadap Rusia.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy terlibat adu mulut di Gedung Putih saat konferensi pers membahas perang Ukraina-Rusia. Ketegangan terjadi ketika Zelenskyy berencana menandatangani kesepakatan terkait ekonomi Ukraina. Akibat perdebatan itu, Trump… pic.twitter.com/Uiejfp6MNh
— Faktacom (@Faktacom_) March 1, 2025
Amerika Serikat dan Rusia terlihat semakin mesra sejak Januari, ketika Donald Trump naik tahta Kepresidenan AS untuk periode keduanya. Kedua negara sudah tidak malu-malu lagi untuk menyebutkan bahwa keduanya saling membutuhkan.
Hal itu tercermin dari upaya Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden Vladimir Putin, yang berkali-kali melakukan kontak telepon sejak Januari 2025.
Dalam sambungan telepon, kedua mengklaim akan menyelesaikan perang Rusia-Ukraina jilid II yang berlangsung sejak 2022. Kemesraan yang baru diukir itu bahkan tega menyepelekan keberadaan Ukraina, negara yang selama satu dasawarsa terakhir diobrak-abrik Rusia. Dan, Amerika Serikat yang sebelumnya selalu membela Ukraina, berbalik arah.
Amerika Serikat dan Rusia mengawali penjajakan hubungannya di Saudi Arabia, negara kaya minyak yang sama sekali tak ada hubungannya dengan Ukraina dan Rusia yang dilanda konflik. Kecuali, karena Saudi sobat karib AS dalam mengelola energi dan pertahanan Jazirah Arab.
Pertemuan digelar di salah satu istana keluarga kerajaan, Diriyah, di kompleks Albasateen, Riyadh, Arab Saudi, Selasa (18/2/2025). Bendera Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi dipajang di pintu masuk, dan karpet ungu digelar.
Kehadiran Amerika Serikat diwakili Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz dan Utusan Khusus Timur Tengah Steve Witkoff. Sementara Rusia diwakili Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov dan Penasihat kebijakan luar Negeri Presiden Putin Yuri Ushakov.
Kepala eksekutif Dana Investasi Langsung Rusia, Kirill Dmitriev, yang ikut dalam rombongan Rusia. menyebut pertemuan itu membahas pemulihan seluruh paket hubungan bilateral AS-Rusia.
"Kami tidak dapat mengungkapkan rinciannya. Yang dapat saya katakan adalah bahwa kami memiliki jalur yang sangat penting dalam perekonomian. Dan, jelas, ada masalah politik. Saya tidak berurusan dengan masalah politik tetapi dengan masalah investasi dan ekonomi," katanya seperti dikutip dari media pemerintah Rusia, TASS.
Tidak ada anggota pertemuan yang secara jelas mengungkapkan ihwal niat mendekatkan hubungan di antara kedua negara adidaya itu.
Ukraina menyetujui gencatan senjata 30 hari dengan Rusia setelah pertemuan dengan AS di Arab Saudi. Presiden Zelenskyy berharap hal ini menghentikan serangan dan meningkatkan keamanan Ukraina. #Ukraina #Rusia pic.twitter.com/bv4HVsnpuY
— Faktacom (@Faktacom_) March 12, 2025
Namun, Dmitriev menjelaskan bahwa hubungan kurang harmonis AS-Rusia selama pemerintahan Joe Biden, membuat perusahaan-perusahaan AS kehilangan US$300 miliar atau sekitar Rp4.910 triliun setelah hengkang dari pasar Rusia sejak perang Rusia-Ukraina dimulai dan sanksi ekonomi terhadap Rusia diterapkan.
"Ada kerugian ekonomi yang sangat besar pada banyak negara, dan kita menjadi tahu apa yang terjadi saat ini. Kami percaya bahwa Amerika nantinya mampu menjadi solusi,” ujar Dmitriev.
Di sisi lain, Presiden Trump juga telah menuntut setengah dari pendapatan Ukraina dari sumber daya alam, pelabuhan, dan infrastruktur. Dalih Trump, persentase keuntungan itu sebagai ganti rugi atas miliaran dolar yang disumbangkan AS untuk membantu Ukraina berperang melawan Rusia.
Dalam dokumen itu, Trump meminta Ukraina untuk mempertahankan 50 persen saham AS di sebagian besar aktivitas ekonominya melalui pembentukan dana investasi bersama. (NYT/TASS/Telegraph/Al Arabiya/NYPost)














