Jepang dan Korsel Krisis Populasi, Angka Kelahiran Bayi Anjlok

ilustrasi. Freepik
FAKTA.COM, Jakarta - Angka kelahiran bayi di Jepang anjlok. Pada 2024, bayi baru lahir di Jepang hanya sekitar 721.000 jiwa.
Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, jumlah itu merupakan tingkat kelahiran bayi terendah sejak pencatatan statistik dimulai pada 1899.
Laporan surat kabar Mainichi Shimbun, Kamis (27/2), mengatakan data itu bahkan mencakup kelahiran bayi dari warga asing yang tinggal di Jepang serta warga negara Jepang yang menetap di luar negeri.
Statistik tahunan yang lebih akurat akan dirilis pada Juni 2025. Kemungkinan, total angka kelahiran pada 2024 bahkan tidak mencapai 700.000 jiwa.
Sebagai perbandingan, pada 2023, jumlah kelahiran di Jepang tercatat sebanyak 758.600 jiwa. Artinya, angka kelahiran 2024 turun hingga 5 persen dibandingkan tahun 2023.
Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial Jepang sebelumnya memperkirakan bahwa angka kelahiran negara itu baru akan turun ke 720.000 jiwa pada tahun 2039. Namun, faktanya menunjukkan bahwa penurunan ini terjadi 15 tahun lebih cepat dari prediksi para ahli.
Selain itu, berdasarkan data yang sama, selisih antara jumlah kematian dan kelahiran di Jepang pada tahun lalu mencapai rekor tertinggi, yakni 897.700 jiwa.
Penurunan populasi di Korea Selatan bisa dilihat dari data tingkat kesuburan yang terus menurun. Menurut data pemerintah yang dilaporkan lembaga Morgan Stanley, tingkat kesuburan Korsel mencapai rekor terendah dunia pada 2023, yakni sebesar 0,72 anak per wanita.
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kelahiran anak di Korsel antara lain karena turunnya angka pernikahan dan meningkatnya keengganan warga Korea memiliki anak.
Pernikahan di Korsel menurun selama pandemi. Jumlah bayi yang baru lahir pun turun 10 persen pada 2020. Meskipun pernikahan dan kelahiran meningkat setelah ekonomi dibuka kembali, tingkat kesuburan hampir tidak berubah.
Selain itu, penurunan angka pernikahan dan jumlah bayi baru lahir disinyalir terjadi akibat lonjakan harga rumah sebesar 80 persen selama 10 tahun terakhir.
Survei pemerintah Korsel pada 2023 menunjukkan 40 persen responden menyebutkan beban keuangan membesarkan anak dan biaya perumahan yang tinggi sebagai alasan untuk tidak memiliki anak atau menambah anak.
Bukan hanya itu, mahalnya biaya pendidikan, terutama swasta, menekan lebih dalam penurunan populasi di Korsel. Apalagi, pendidikan swasta di Korsel menghabiskan 12 persen pengeluaran rumah tangga, lebih banyak dari beban untuk kebutuhan pokok atau makanan.
Pemerintah Korsel pun memproyeksikan populasi akan mulai menurun pada 2024, yang akhirnya turun sepertiga selama 40 tahun berikutnya. Populasi pekerja pun akan berkurang setengahnya pada tahun 2065. (Mainichi Shimbun/ANT/Korea Herald/Morgan Stanley)