Setop Pelecehan Seksual di Kampus, Pengamat: Korban Harus Lebih Berani Melapor

ilustrasi: Putut Pramudiko/Fakta.com

FAKTA.COM, Jakarta – Kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi akhir-akhir ini marak terjadi. 

Pada awal tahun ini, kasus pelecehan seksual diduga dilakukan oleh rektor non-aktif Universitas Pancasila terhadap karyawannya. 

Kasus ini bahkan sudah dinaikkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Namun, polisi hingga kini belum menetapkan tersangka.  

Kemudian seorang dosen Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram) diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga mahasiswi saat melakukan bimbingan skripsi. 

Pelecehan di Kawasan Industri Bekasi, Menaker: Usut Tuntas!

Kasus ini juga telah dilaporkan para korban ke Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram. Tim Satgas PPKS Unram memberhentikan sementara dosen tersebut.

Pengamat sosial kasus kekerasan seksual dari Universitas Airlangga (Unair) Myrtati Dyah Artaria mengatakan, kasus pelecehan seksual di kampus umumnya terjadi karena pelaku merupakan orang yang memiliki posisi tinggi atau punya power.

Karena memiliki posisi tinggi alias power, pelaku mampu mengintimidasi korban, seperti yang terjadi pada dua kasus tersebut.

Selain itu, kata Myrta, terjadinya kasus pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi karena tidak ada peraturan yang secara jelas dapat melindungi korban.

Anak-anak Jadi Korban Pelecehan Seksual, Mark Zuckerberg Minta Maaf

“Saat ini tidak ada peraturan yang jelas untuk membantu korban. Contohnya, jika dalam peraturan yang dibutuhkan adalah saksi, maka hal ini menjadi sulit, karena kebanyakan pelaku menunggu tidak ada orang lain yang menyaksikan," kata Myrta.

Selama ini, kata dia, kondisi itu membuat pelaku merajalela, karena merasa aman melakukan pelanggaran. Pelaku juga merasa tidak mungkin untuk dilaporkan karena tidak ada saksi. 

Kurangnya saksi, lanjut Myrta, mampu mendorong timbulnya victim blaming yang ditujukan untuk menyudutkan korban, baik oleh pelaku maupun masyarakat. 

Victim blaming adalah tindakan menyalahkan korban demi melindungi nama baik pelaku atau tindakan yang dilakukan untuk menyudutkan korban, baik dengan sikap maupun perkataan.

“Victim blaming ini sering terjadi, karena mudah sekali orang-orang di sekitar korban dan pelaku untuk malah menyalahkan korban, seperti dituduh korban ingin memfitnah pelaku. Apalagi, ketika kejadian pelecehan tersebut seringkali tidak ada saksi,” sambungnya.

Kemendikbud Ristek memang telah menerbitkan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi (Peraturan PPKS di PT).

"Victim blaming ini sering terjadi, karena mudah sekali orang-orang di sekitar korban dan pelaku untuk malah menyalahkan korban, seperti dituduh korban ingin memfitnah pelaku. Apalagi, ketika kejadian pelecehan tersebut seringkali tidak ada saksi.”   
Myrtati Dyah Artaria

Menurut Myrta, agar pelaksanaan semua kebijakan yang telah ditetapkan Mendikbud Ristek dapat dilakukan secara efektif, maka perlu sosialisasi di lingkungan masyarakat, serta pengawasan pelaksanaan kebijakan yang baik.

"Sehingga penanganan kasus pelecehan seksual dapat dilakukan berdasarkan victim oriented (berorientasi pada korban) dan tidak victim blaming," kata Myrta.

Meski begitu, Myrta menilai saat ini penanganan pelecehan seksual di Indonesia, khususnya dalam lingkungan perguruan tinggi sudah jauh lebih baik dibandingkan tiga tahun lalu.

"Tiga tahun lalu Satgas PPKS masih belum diwajibkan, serta Peraturan PPKS di perguruan tinggi juga belum disahkan. Oleh karena itu, saya harap para korban kekerasan seksual dapat lebih berani untuk bisa mengajukan laporan ke pihak-pihak yang berwenang,” ujarnya.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//