Dilema Hilirisasi dan Penerimaan Negara yang Hilang karena Insentif

Presiden Joko Widodo saat meninjau pembangunan smelter PT Timah. (Dokumen Setkab)

FAKTA.COM, Jakarta - Upaya pemerintah melakukan kegiatan pemurnian barang hasil tambang di dalam negeri (hilirisasi) berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia. Kondisi ini menjadi sebuah dilema, terutama jika melihat dari sisi penerimaan negara.

“Namun sekali lagi pemerintah juga harus berhadapan dengan proses trade off, dimana potensi penerimaan yang bisa diambil menjadi berkurang. Kenapa? Karena pemerintah memberikan insentif terhadap sektor yang melakukan hilirisasi,” ujar Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet kepada Fakta.com, awal pekan ini.

Rendy menjelaskan, beberapa fasilitas yang didapat oleh perusahaan smelter antara lain dibebaskannya pungutan pajak maupun pungutan nonpajak. 

“Satu hal yang perlu dipastikan oleh pemerintah dalam jangka menengah hingga panjang adalah pemberian insentif (fasilitas perpajakan) ini bisa pay off terhadap aktivitas perekonomian yang lebih besar,” tutur dia.

Penerimaan Bea Keluar Turun, Menkeu Singgung Hilirisasi dan Larangan Ekspor

Sehingga, sambung Rendy, potensi penerimaan yang hilang dalam jangka pendek bisa digantikan dengan penerimaan yang lebih besar dalam jangka menengah hingga panjang dari aktivitas hilirisasi.

Lebih lanjut, ekonom CORE itu mendukung adanya instrumen khusus yang mampu mengukur kinerja industri hilirisasi dengan peningkatan ekonomi secara makro maupun efeknya terhadap penerimaan negara.

“Saya kira proses pemantauan pemberian insentif pajak dan evaluasi setiap tahun menjadi penting untuk dilakukan. Ini sangat strategis untuk memastikan dan mengetahui seberapa jauh progres dari pemberian insentif terhadap sektor-sektor tertentu dan bagaimana output dari pemberian insentif,” tegasnya.

Untuk diketahui, kegiatan hilirisasi sektor pertambangan mendapat fasilitas dari pemerintah berupa pembebasan pajak atau tax holiday PPh Badan.

Hilirisasi Nikel Harus Masuk Rantai Pasok Kendaraan Listrik

Kondisi itu cukup tercermin dari keterangan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati ketika menggelar konferensi pers tengah pekan lalu. Dalam pernyataannya, bendahara negara menyebut jika PPh Badan berkontribusi paling besar, yakni 24%, dari seluruh penerimaan pajak hingga September 2023.

“Pertumbuhan penerimaan PPh Badan masih 21% untuk Januari sampai dengan September 2023. Namun, untuk periode September saja, PPh Badan terkontraksi minus 1,2%. Ini yang kita perlu waspadai,” kata Menkeu saat memaparkan realisasi APBN di pertengahan Oktober lalu.

Asal tahu saja, pertumbuhan PPh Badan pada Januari-September 2022 mencapai 115,7% dikarenakan baseline di 2021 yang rendah akibat dampak pandemi. “PPh Badan tumbuh melambat karena penurunan angsuran PPh Pasal 25 sejalan dengan ekspektasi profitabilitas, terutama sektor komoditas,” imbuhnya.

Redaksi mencatat, kegiatan hilirisasi tidak hanya berdampak pada penerimaan pajak tetapi juga pada penerimaan kepabeanan dan cukai, khususnya bea keluar.

Jokowi Optimistis Hilirisasi Berbuah Manis bagi Perekonomian

Menkeu Sri Mulyani sempat mengungkap penerimaan bea keluar sampai dengan Agustus 2023 mengalami penurunan minus 80,3% yoy.

Kata dia, ada dua sebab penurunan ini. Pertama penurunan harga CPO dan pemberlakuan kebijakan flush out pada 2022 yang tidak berulang di tahun ini.

“Kedua dipengaruhi oleh bea keluar tembaga yang turun minus 70% dipengaruhi oleh ekspor tembaga yang mengalami kontraksi sebesar 14%. Ini juga terjadi karena adanya hilirisasi tembaga,” ucapnya.

Situasi serupa juga kembali terlihat satu bulan kemudian dengan bea keluar terkontraksi minus 78,1% di September 2023 yang lagi-lagi dipengaruhi oleh CPO dan tembaga.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//