Terjepit Anggaran Bayar Utang, Ruang Fiskal Era Prabowo Makin Sempit

Ilustrasi APBN. (Dokumen Fakta.com/Putut Pramudiko)

FAKTA.COM, Jakarta - Pascapembacaan Nota Keuangan oleh Presiden Joko Widodo, pekan lalu, beberapa ekonom menyoroti indikasi menyempitnya ruang fiskal di awal kepemimpinan Prabowo Subianto.

Dalam diskusi Publik INDEF, Minggu (18/8/2024), Ekonom INDEF, Ariyo Irhamna mengungkap indikasi penyempitan ruang fiskal. Hal tersebut menurutnya dilihat dari belanja non K/L yang meningkat signifikan, di lain sisi belanja K/L mengalami penurunan.

Seperti diketahui, merujuk dokumen Nota Keuangan RAPBN 2025, belanja K/L untuk tahun 2025 mengalami penurunan. Menurut dokumen tersebut, anggaran belanja K/L RAPBN 2025 sebesar Rp976,8 triliun. Angka tersebut menurun dari outlook tahun 2024, yakni Rp1198,8 triliun.

Di samping itu, belanja non K/L justru mengalami peningkatan, besarnya adalah Rp1.716,4 triliun. Meningkat dari angka di outlook 2024, yaitu Rp1.359,4 triliun atau sebesar 26,3%.

Ada Utang Jatuh Tempo Rp800 T di Tahun Pertama Era Prabowo, Ruang Fiskal Aman?

Ariyo bilang, fakta tersebut dapat dilihat sebagai indikasi terjadinya penyempitan ruang fiskal karena belanja non K/L dialokasikan untuk beberapa hal, seperti pembiayaan utang, alokasi subsidi, hibah internasional, dan dana antisipatif untuk bencana alam.

“Ini mencerminkan ruang fiskal yang semakin sempit akibat kewajiban utang yang semakin besar,” kata Ariyo

Sekadar informasi, dirinci berdasarkan jenis belanjanya, pembayaran bunga utang merupakan belanja terbesar kedua dalam RAPBN 2025, angkanya mencapai Rp552,9 triliun. Angka ini pun meningkat dari tahun-tahun sebelumnya dengan rincian per tahun sebagai berikut:

Sebelumnya ketika dihubungi Fakta.com, baru-baru ini, peneliti Bright Institute, Muhammad Andri Perdana ungkap alokasi anggaran untuk pembiayaan bunga utang yang relatif besar sudah cukup mengkhawatirkan. Menurutnya, batas aman yang ditetapkan IMF untuk alokasi pembayaran bunga utang adalah 7%-10%. Namun, Indonesia sudah melebihi batas tersebut.

“Kalau kita lihat biaya bunga dalam LKPP terakhir itu sekitar 15,8%,” kata Andri menambahkan.

Di tengah indikasi penyempitan ruang fiskal ini, Ekonom Senior Faisal Basri menyoroti upaya pemerintah menggerek sumber penerimaan pajak melalui peningkatan PPN menjadi 12%.

“Tambahan pendapatan dari menaikkan PPN 11% ke 12% itu tidak sampai Rp100 triliun,” kata Faisal Basri dalam Diskusi Publik INDEF, Senin (19/8/2024).

Selain Asumsi Makro, Ini Kerangka Ekonomi dan Pokok Kebijakan Fiskal 2025

Menurutnya, potensi penerimaan negara dari implementasi aturan tersebut cenderung kecil. Ia bilang, potensi tambahan pendapatan dari penerapan pajak ekspor batu bara jauh lebih besar. Atas dasar itu, Faisal menyoroti upaya negara yang membebankan rakyat kecil untuk tambah penerimaan negara.

“Padahal kalau kita menerapkan pajak ekspor untuk batu bara, itu bisa dapat Rp200 triliun,” pungkas Faisal.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//