Penurunan Jumlah Kelas Menengah: Karena Daya Beli Melemah atau Terlalu Gegabah?

Ilustrasi. (Dokumen Pexels)

FAKTA.COM, Jakarta - Dinamika kelas menengah masih menjadi persoalan, karena jumlahnya turun signifikan. Padahal, kontribusi kalangan ini terhadap perekonomian cukup jadi andalan.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah adalah 66% dari jumlah penduduk. Dari catatan tersebut, sumbangannya terhadap konsumsi adalah 82%. Karena itu, perannya menjadi vital untuk perekonomian.

Namun, yang menjadi persoalan adalah jumlah kelas menengah dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan daya beli.

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut;

v

Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana mempertegas temuan tersebut. Menurutnya, memang ada penurunan daya beli di kelas menengah yang menyebabkan mereka turun kelas.

Andri bilang, persentase kelas menengah turun 4,32%, yakni dari 21,45% di tahun 2019 menjadi 17,13% di tahun 2024. Andri mengatakan, secara neto seperlima kelas menengah turun kelas.

“Kalau kita lihat Mandiri Spending Index, indeks tabungan kelas menengah turun, di awal 2023 berada di kisaran 100, kemudian menjadi 96,6 per Juni 2024,” ujar Andri kepada Fakta.com, Senin (2/9/2024).

Melihat Arah Ekonomi Kelas Menengah

Dihubungi secara terpisah, Ekonom INDEF, Eko Listiyanto mengungkap, kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli akhirnya turun kelas menjadi aspiring middle class.

“Dia tidak miskin, tetapi tidak bisa dikategorikan kelas menengah,” kata Eko mengungkapkan.

Eko mengatakan, fenomena ini berimplikasi kepada meningkatnya aspiring middle class sehingga membuat mereka menjadi jauh lebih rentan.

“Sehingga kelihatan sekarang ini ada guncangan ekonomi sedikit saja itu kemudian membuat arahnya adalah ke kemiskinan,” pungkas Eko.

Kelas menengah banyak cicilan

Menanggapi fenomena ini, Perencana Keuangan, Safir Senduk mengungkapkan, kelas menengah memiliki behavior untuk membelanjakan sesuatu bukan berdasarkan kebutuhan, tetapi keinginan.

Menurutnya, kelas menengah secara perencanaan keuangan seringkali belanja barangnya meningkat, entah karena butuh, tetapi lebih banyak karena ingin.

“Itulah kenapa di Indonesia kelas menengah justru cicilannya meningkat,” kata Safir

Seperti diketahui, berdasarkan Survei Konsumen Juli oleh Bank Indonesia, hampir seluruh kelompok pendapatan masyarakat terindikasi mengalami peningkatan biaya cicilan.

Kata Peneliti INDEF, Kelas Menengah Bawah Butuh Insentif untuk Tambah Simpanan

Secara umum, rasio cicilan terhadap pendapatan rumah tangga di bulan Juli tahun ini sebesar 10,7%, angka tersebut meningkat dari bulan lalu, yakni 9,6%. Di samping itu, pada waktu yang sama, rasio pengeluaran untuk konsumsi justru menurun dari 73,9% menjadi 73,8%.

Peningkatan rasio cicilan terhadap pendapatan rumah tangga terjadi terutama pada kelompok pendapatan Rp4,1-Rp5 juta. Adapun per Juli 2024, angkanya adalah 14,4%, meningkat tajam dari bulan sebelumnya, yakni 10,1%.

Safir bilang, untuk mengurangi cicilan-cicilan tersebut, kelas menengah perlu lebih bijak dalam membeli barang.

“Kurangi keinginan membeli barang atau fokus ketika membeli barang, jangan terlalu mahal, tetapi realistis. Dengan begitu, kita bisa mengurangi cicilan-cicilan yang tidak perlu,” pungkas Safir.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//