Pengendalian Tembakau, di Antara Kesehatan dan Dampak Ekonomi

Industri rokok. (Dokumen Kemendag)

FAKTA.COM, Jakarta - Industri tembakau tengah dihadapkan dengan berbagai aturan restriktif. Banyak suara yang mengatakan hal tersebut membunuh industri tembakau secara perlahan.

Dalam CNBC Indonesia Coffee Morning, Kamis (19/9/2024), Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan industri tembakau diatur dengan dua peraturan yang ketat, yakni fiskal dan nonfiskal.

Menurutnya bahkan industri ini diatur dengan sekitar 480-an peraturan. Henry bilang, sejak 2020-2024 kenaikan cukai rokok mencapai 88%. Di samping itu, kenaikan harga jual eceran mencapai 83%.

“Kalau kita total industri kami, per batang rokok sudah kena pungutan negara 76% hingga 80%,” kata Henry.

Petani Tembakau-Cengkeh Datangi DPR, Minta Cukai Khusus Rokok UMKM

Hal ini bahkan membuat produksi rokok menurun, Henry menuturkan tahun 2019 produksi rokok mencapai 356 miliar batang, kemudian kerap mengalami penurunan. Per 2023, produksinya hanya 318 miliar batang saja.

Di tengah ketatnya aturan dalam industri tembakau, kini muncul Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Di antaranya mengatur pengendalian industri tembakau, termasuk soal periklanan di media, pembatasan lokasi penjualan, hingga soal desain kemasan.

Henry bilang, industri tembakau kretek bahkan menyerap sekitar 5,95 juta tenaga kerja. Di samping itu, cukai hasil tembakau bahkan berkontribusi sebesar 10% dari total penerimaan negara.

“Ekosistem industri ini (tembakau) sudah berjalan dengan mulus, kelihatannya akan diganggu oleh peraturan-peraturan yang semakin restriktif,” ujar Henry.

Inflasi Januari 2,57 Persen, Faktor Utama dari Mamin dan Tembakau

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi mengungkap proses penyusunan PP tersebut kurang memperhatikan partisipasi publik. Pasalnya, mereka merasa tidak diajak dialog secara langsung.

“Rekan kami dari GAPPRI bahkan sebenarnya tidak diundang,” tutur Benny.

Pertumbuhan ekonomi menurun

Dalam diskusi itu, Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menuturkan dampak ekonomi dari penerapan PP Nomor 28 Tahun 2024, baik jumlah kemasan, pemajangan produk, dan iklan tembakau yang berdampak pada pelaku usaha.

Menurut perhitungan INDEF, terutama untuk skenario jumlah kemasan, pemajangan produk, dan iklan tembakau dampaknya dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,53% dan penerimaan pajak. Di samping itu, ada potensi pengurangan tenaga kerja di sektor terkait.

“Tentu saja tenaga kerja di industri rokok berkurang 10,08%, tembakau olahan 2,38%, petani tembakau 17,16%, dan petani cengkeh 3,73%,” kata Tauhid menjelaskan.

Antara Produksi Tembakau, Pendapatan Negara, dan Maraknya Rokok Ilegal

Di samping itu, Tauhid juga menyampaikan aturan terkait standarisasi kemasan rokok yang sedang digarap dalam draft Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik juga berpotensi membuat peredaran rokok ilegal semakin marak.

“Pasti akan terjadi penurunan (produksi) terutama bagi golongan rokok mahal, seperti golongan I dan yang akan muncul justru adalah rokok golongan II dan golongan III,” ujarnya.

Ini akan meningkatkan peredaran rokok ilegal, mengingat market dari rokok ilegal adalah golongan II dan golongan III.

“Rasanya sama, tetapi tanpa ada cukai,” pungkas Tauhid.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//