Mengenal Climateflation, Inflasi yang Terbentuk Atas Perubahan Iklim

Ilustrasi. (Dokumen Fakta.com)

FAKTA.COM, Jakarta - Pengamat menilai dampak perubahan iklim tidak hanya soal lingkungan saja, tetapi kepada berbagai hal lain. Termasuk, soal harga-harga kebutuhan pangan yang menjadi kebutuhan khalayak.

Senior Campaign Strategist Greenpeace International, Tata Mutasya mengungkap dampak perubahan iklim akan dirasakan oleh tenaga kerja di sektor pertanian, khususnya petani berpenghasilan rendah.

Sekadar informasi, sektor pertanian masih menyumbang serapan tenaga kerja terbesar dibanding sektor lain di Indonesia. Per Februari 2024, porsinya 28,64% dari total 142,18 juta pekerja.

Meski persentasenya menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 29,36%, secara jumlah angkanya meningkat 0,03%.

Pendapatan Dunia Diperkirakan Turun 20 Persen Gara-gara Perubahan Iklim

Menurut Tata, setidaknya ada dua hal yang paling tidak akan dialami pekerja di sektor pertanian. Pertama, kegagalan produksi, seperti gagal tanam dan gagal panen.

“Hal ini disebabkan oleh musim yang semakin sulit diprediksi, kekeringan atau kemarau panjang, dan bencana hidrometeorologi seperti banjir,” kata Tata kepada Fakta.com beberapa waktu lalu.

Kemudian, krisis iklim juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati sehingga merusak ekosistem dan salah satunya dapat dilihat dari peningkatan hama. Di samping itu, ada pula peningkatan suhu luar ruang yang menyebabkan turunnya produktivitas petani.

Tata bilang, berbagai hal tersebut berimplikasi kepada peningkatan harga pangan. “Ini sudah mulai terjadi dan ini yang dinamakan climateflation atau inflasi iklim,” ujar Tata.

Ia juga menuturkan, climateflation ini berkontribusi terhadap peningkatan harga pangan. “Seperti beras yang sangat mungkin tidak bersifat musiman, tetapi harga akan terus tinggi,” pungkas Tata.

Mitigasi Perubahan Iklim Berlanjut, Pemerintah Kini Punya Catalytic Fund

Dihubungi terpisah, Peneliti CORE Indonesia, Eliza Mardian mengatakan, sektor pertanian Indonesia sangat rentan terhadap krisis iklim. Soal buruknya ketahanan iklim di sektor pertanian tercermin dari nilai Food Security Index (FSI) Indonesia pada indikator keberlanjutan yang buruk.

Untuk indikator tersebut, Indonesia berada pada urutan ke-71 dari 78 negara. Sementara itu, Ethiopia bahkan berada pada urutan ke-23.

Salah satu subindikator keberlanjutan yang menjadi sorotan adalah manajemen air atau irigasi, Indonesia mendapatkan skor 0, sedangkan Ethiopia memiliki skor sempurna, yakni 100.

Adapun subindikator keberlanjutan lain Indonesia yang skornya berada di bawah Ethiopia di antaranya adalah subsidi pertanian, investasi pertanian berkelanjutan, dan resiliensi terhadap perubahan iklim.

“Jadi terlihat bahwa pertanian Indonesia belum siap menghadapi dampak perubahan iklim,” pungkas Eliza.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//