Perekonomian dan Persoalan Klasik, Terganjal Kebijakan Gas Domestik

Ilustrasi. (Dokumen Fakta.com/Putut Pramudiko)

FAKTA.COM, Jakarta - Pelemahan rupiah serta perlambatan ekonomi global tampaknya mulai mempengaruhi perekonomian Indonesia. Beruntung, meski ekonomi sedang melambat sejumlah faktor pendukung tetap bisa tumbuh, salah satunya industri pengolahan atau manufaktur.

Tapi sayangnya, pertumbuhan industri pengolahan justru dinilai masih jauh dari harapan dan seharusnya bisa tumbuh lebih sempurna. Lagi-lagi, persoalan yang masih dihadapi kalangan pengusaha isunya klasik, kebijakan terkait pasokan gas, rendahnya belanja pemerintah, dan banjir barang impor di pasar domestik.

Fakta Penggerus Pertumbuhan Ekonomi Terungkap, Insentif Fiskal Disiapkan

Sektor industri pengolahan tumbuh 5,2% atau melampaui pertumbuhan ekonomi yang sebesar 4,94% secara year on year. "Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) semestinya bisa jauh lebih tinggi," kata Menteri Perindustrian RI, Agus Gumiwang Kartasasmita, Selasa (7/11/2023).

Harapan pelaku usaha untuk mendapat pasokan yang cukup serta harga gas yang murah sejatinya telah terbuka sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas. Harga gas ditetapkan paling tinggi US$6 per MMBTU.

Kemenperin Terus Singgung Kebijakan Harga Gas, KESDM ke Mana?

Belakangan, kebijakan ini direvisi lewat Perpres Nomor 121/2020 yang memperkenankan penetapan harga gas di atas US$6 per MMBTU untuk gas yang berasal dari liquefied natural gas (LNG) dan compressed natural gas (CNG). Harga gas bumi tertentu dapat diberlakukan untuk tujuh bidang industri, yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, serta sarung tangan karet.

"Program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) tidak berjalan dengan baik. Masih banyak industri peserta program yang mendapatkan gas untuk bahan baku dan energi di atas US$6per MMBTU, selain harga pasokannya pun tidak lancar," kata Agus.

Ekspor tinggi dan infrastruktur belum memadai

Di tengah tingginya kebutuhan pasokan serta keterjangkauan harga, ekspor gas rupanya masih terbilang tinggi. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto bilang, pemanfaatan gas bumi untuk domestik hanya mencapai 68% dari total produksi gas bumi Indonesia sebesar 5.446,90 BBTUD, sisanya untuk kebutuhan ekspor.

Kemenperin dan Kementerian ESDM Beda Suara soal Harga Gas

Ia memproyeksikan, penggunaan gas untuk kebutuhan dalam negeri baru bisa direalisasikan pada 12 tahun ke depan alias 2036 mendatang, "Selama dengan catatan infrastrukturnya sudah lengkap," ujar Joko.

Selain itu, kebijakan tarif harga gas senilai US$6 per MMBTU untuk kalangan industri juga diharapkan untuk peningkatan pemanfaatan gas domestik sekaligus memantik daya tarik investor. Djoko mengatakan, "Investor bisa datang dan membangun pabriknya disini, karena harga gasnya murah, sehingga akan menimbulkan multiplier effect."

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//