Industri Kelapa Sawit, Berpeluang Kembali Bangkit?

Ilustrasi. (Dokumen Fakta.com/Putut Pramudiko)

FAKTA.COM, Jakarta - Fluktuasi komoditas minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) dan turunannya di sepanjang 2023 cenderung menurun. Berbagai persoalan menerpa industri ini, mulai perlambatan perekonomian global hingga isu sengketa perdagangan dengan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO).

Namun demikian, pada 2024 mendatang nampaknya masih terbuka peluang peningkatan harga maupun investasi di industri kepala sawit di dalam negeri. "Produksi kemungkinan akan menurun karena terdampak El Nino, sehingga harga CPO tahun depan berpeluang untuk kembali naik," kata Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan, Kamis (28/12/2023).

Perekonomian Global yang Melambat Bikin Ekspor Kurang Sehat

Sebagai gambaran, harga referensi CPO untuk bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) periode 16-31 Desember 2023 mengalami penurunan sebesar 3,47 persen menjadi US$767,51 per metrik ton. Penurunan harga referensi yang merupakan rata-rata harga dari bursa CPO Indonesia, Malaysia, dan Belanda ini dipengaruhi kelesuan permintaan dari India dan China, serta penurunan permintaan minyak nabati lain di Uni Eropa.

"Harga referensi CPO mengalami penurunan yang mendekati ambang batas sebesar US$680 per MT. Untuk itu, merujuk pada PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang berlaku saat ini,maka pemerintah akan mengenakan BK CPO sebesar US$18 per MT dan PE CPO sebesar US$75 per MT untuk periode paruh kedua Desember 2023,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan Budi Santoso.

Peluang tahun depan

Pada Oktober 2023 lalu, pemerintah meluncurkan Bursa CPO Indonesia. Ke depan, di harapkan pasar berjangka perdagangan minyak kelapa sawit di Tanah Air ini akan menjadi rujukan pembentukan harga di pasar global yang selama cenderung berkiblat ke Bursa CPO Malaysia ataupun Rotterdam di Belanda.

Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) sebagai penyelanggara Bursa CPO juga telah memperluas lokasi penyerahan perdagangan fisik menjadi 19 titik di Tanah Air. Tujuannya, akan banyak lebih banyak melibatkan pengusaha sehingga referensi harga lokal bisa terbentuk.

"Bursa CPO Indonesia ini sifatnya sukarela. Saya tidak ingin semua diatur oleh pemerintah. Ini untuk kepentingan saudara, silahkan dipergunakan sebaik-baiknya. Kalau tidak, harga CPO akan selalu ditentukan oleh Bursa Rotterdam dan Malaysia," ujar Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan dalam perhelatan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) di Bali, November silam.

Sayangnya, hingga kini belum banyak pengusaha sawit raksasa yang bergabung dalam bursa tersebut. Fadhil Hasan mengatakan, penerapan bursa lokal ini belum optimal untuk mendorong permintaan maupun peningkatan harga mengingat karena mininya keterlibatan pengusaha CPO. 

Bursa CPO Resmi Berdiri, Indonesia Bakal Punya Harga Acuan Ekspor

Menurut dia, justru salah satu upaya yang potensial untuk meningkatkan perdagangan sawit di tahun depan yakni ekspansi pasar ekspor, salah satunya Amerika Serikat. Selama ini, Paman Sam merupakan negara kelima menjadi pasar ekspor minyak sawit Indonesia setelah China, India, Uni Eropa, dan Pakistan.

Sejauh ini, perdagangan CPO ke Amerika Serikat masih menunjukkan tren yang positif. Fadhil mengatakan, "Pasar global yang semakin kompetitif, penting bagi Indonesia untuk tidak hanya mengandalkan keunggulan alami tetapi juga untuk terus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar."

Ketua Umum Gapki, Eddy Martono menambahkan, hingga kini kelapa sawit masih menjadi minyak nabati dengan pangsa pasar terbesar di dunia, yaitu mencapai 33 persen. Saban tahun, konsumsi minyak nabati naik hingga 5 juta ton sehingga hal tersebut membuka peluang bagi peningkatan permintaan CPO.

Akan tetapi, tantangan penolakan dari Uni Eropa berupa peraturan deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR) juga mesti menjadi perhatian pemerintah. Sejauh ini, Gapki bersama pengusaha Malaysia sesama produsen CPO tengah melakukan pendekatan dengan EU agar kebijakan tersebut tidak mengganggu ekspor CPO.

Eddy berharap, diplomasi pemerintah dengan Uni Eropa bisa berjalan baik sehingga ekspansi perdagangan ke Benua Biru tersebut semakin lanca. "Kedutaan besar di Eropa juga sangat aktif untuk masalah, harapnya implementasi EUDR akan lebih soft," kata dia dalam laman resminya.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//