Lemahnya Payung Hukum Program Makan Bergizi Gratis

Presiden Prabowo Subianto sidak dapur umum Makan Bergizi Gratis (MBG) di Rawamangun, Jakarta Timur, pada Senin (3/2/2025). (ANTARA/HO-Tim Media Presiden Prabowo Subianto)
FAKTA.COM, Jakarta – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengungkapkan bahwa pemerintah perlu memperkuat regulasi pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikarenakan program ini dinilai masih terbatas dalam segi payung hukumnya.
Chief Executive Officer CISDI, Diah Satyani Saminarsih, mengungkapkan terbatasnya regulasi hukum ini menyebabkan terbatasnya petunjuk teknis, sehingga kurangnya informasi yang jelas kepada publik. Salah satunya, tidak diunggahnya di website resmi Badan Gizi Nasional (BGN) terkait dokumen Surat Keputusan Deputi Bidang Penyaluran BGN No.2/2024 yang membuat petunjuk teknis program MBG.
“Ini berbeda jika dibandingkan dengan pelaksanaan program penurunan stunting dan praktik baik di negara lain, seperti Jepang, Brazil, dan India. Pelaksanaan MBG idealnya didukung oleh kerangka regulasi yang paling tidak setingkat Perpres (Peraturan Presiden),” ungkap Diah dalam kajian CISDI berjudul "Peluncuran Seri Kedua Kajian Makan Bergizi Gratis: Pentingnya Tata Kelola, Regulasi, dan Monitoring Evaluasi" di Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Diah mengatakan dengan terbatasnya payung hukum membuat tata kelola kewenangan kementerian/lembaga terkait yang berperan dalam program ini belum jelas. Kemudian, juga mekanisme monitoring dan evaluasi juknis MBG yang belum dijelaskan secara rinci, serta minimnya pelibatan masyarakat sipil.
“Masih terbatasnya ruang konsultasi publik yang melibatkan masyarakat dan para ahli dalam program MBG. Serta tidak disediakannya kanal pelaporan terintegrasi untuk memantau pelanggaran hukum, prosedur, ketidaksesuaian menu, atau penyalahgunaan sumber daya,” ungkapnya.
Senada, Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene juga mengkritisi soal regulasi ini. Pihaknya telah mendesak Badan Gizi Nasional untuk segera berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait guna menerbitkan payung hukum dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres) sebagai landasan pelaksanaan program ini.
“Kami juga minta yang pertama adalah ruang lingkup program, kemudian pihak yang terlibat kementerian lembaga yang tadi saya bilang biar porsinya ada di mana. Berikutnya, soal pelaksanaan program, payung hukum untuk monitoring dan evaluasi program, serta pengelolaan tunjangan kinerja khusus pegawai Badan Gizi,” ungkap Felly.
“Tentunya ini hal-hal yang kami closing dalam rapat kami tanggal 3 Februari kemarin dan ini mengikat antara Komisi IX dengan Badan Gizi itu sendiri,” tambahnya.
Diah juga menyoroti terkait kebutuhan anggaran program MBG yang diestimasi memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp100 triliun untuk menjangkau 82,9 juta penerima manfaat. Ia menilai hal ini dapat berisiko meningkatkan inefisiensi program MBG dikarenakan belum ada studi atau naskah akademik dengan basis bukti yang menunjukkan urgensi perluasan cakupan penerima manfaat, serta belum ada basis bukti untuk unit cost per porsi makanan.