Catatan AJI 2024: 74 Kasus Kekerasan Jurnalis, PHK Massal, dan Krisis Profesionalisme

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis Catatan Tahun 2024 bertajuk "Keluar Mulut Harimau, Masuk Mulut Buaya". (Foto ilustrasi)
FAKTA.COM, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis Catatan Tahun 2024 bertajuk Keluar Mulut Harimau, Masuk Mulut Buaya pada Kamis (30/1) secara daring.
Laporan tersebut menyoroti tiga isu krusial dalam dunia jurnalisme, yaitu kekerasan terhadap jurnalis, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja media, dan penurunan profesionalisme jurnalis.
Kekerasan terhadap Jurnalis Masih Tinggi
Sepanjang 2024, AJI mencatat 74 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Meski jumlah ini lebih rendah dibandingkan 87 kasus pada 2023, Ketua Umum AJI Nany Afrida menegaskan bahwa kondisi tahun ini lebih berat dari segi dampak.
"Meskipun angkanya menurun justru kualitasnya itu lebih berat, yaitu ada satu korban jiwa, ada yang terbunuh. Tidak benar jika jumlahnya berkurang tandanya sudah baik. Kekerasan terhadap jurnalis, satu kasus sekalipun, merupakan hal yang sangat serius karena itu berhubungan dengan kondisi demokrasi di Indonesia," ujar Nany.
Dari total kasus kekerasan, bentuk yang paling dominan adalah kekerasan fisik (19 kasus), diikuti teror dan intimidasi (17 kasus), serangan digital (10 kasus), pelarangan liputan (8 kasus), serta perusakan alat atau penghapusan data (5 kasus). Selain itu, terdapat tiga kasus pemanggilan atau klarifikasi oleh polisi, tiga kasus kekerasan berbasis gender, dua kasus penuntutan hukum, satu kasus swasensor, dan satu kasus pembunuhan jurnalis.
Para pelaku kekerasan didominasi aparat penegak hukum, dengan polisi tercatat sebagai pelaku terbanyak (19 kasus), disusul TNI (11 kasus). Pelaku lainnya meliputi warga atau organisasi masyarakat (11 kasus), pelaku tak dikenal (10 kasus), perusahaan atau staf media (5 kasus), aparat pemerintah (4 kasus), pekerja profesional (4 kasus), pejabat legislatif (2 kasus), pejabat pengadilan (1 kasus), dan rektor kampus (1 kasus).
Kekerasan terhadap jurnalis terjadi di berbagai daerah, termasuk hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa serta Bengkulu, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Bali, Kepulauan Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Papua, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya.
Beberapa kasus menonjol dalam catatan AJI di antaranya pembakaran rumah jurnalis Tribrata TV Rico Sempurna Pasaribu di Karo, Sumatera Utara, teror bom di kantor redaksi Jubi di Papua, serta pengrusakan mobil jurnalis Tempo di Jakarta.
Swasensor, Ancaman Baru Kebebasan Pers
AJI juga menyoroti meningkatnya praktik swasensor di berbagai media, yang semakin mengancam kebebasan pers. Swasensor terjadi ketika media mengalami intervensi dari pihak berkuasa untuk menurunkan atau mengubah berita.
"Kami memprediksi ini akan lebih banyak lagi dengan kondisi demokrasi yang seperti sekarang ini,” ungkap Nany.
Nany memberi contoh, setelah Jokowi dinobatkan sebagai finalis tokoh terkorup dunia versi Organised Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), beberapa media yang awalnya melaporkan berita tersebut kemudian menghapus atau mengubah isi berita. AJI menilai praktik ini sebagai bentuk kekerasan pers yang mengancam independensi media.
Klarifikasi @OCCRP soal nominasi Jokowi ke Person of the Year in Crime and Corruption.
— Aubrey Belford (@AubreyBelford) January 2, 2025
Jokowi dinominasikan secara online oleh netizen dgn suara yg banyak, bersama tokoh2 lainnya seperti Presiden Kenya Ruto.
Namun “pemenang” orang lain: Bashar Al-Assadhttps://t.co/xAubm86K5b
Gelombang PHK, Jurnalis dalam Ancaman Ekonomi
AJI juga menyoroti gelombang PHK yang melanda industri media, memperburuk kesejahteraan jurnalis di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan praktik union-busting dan pemotongan gaji sepihak dan gaji di bawah upah minimum.
“Kondisi kesejahteraan jurnalis sebenarnya dari dulu itu nggak baik-baik saja dan sampai sekarang lebih buruk. Terutama dengan kondisi media yang senjakala dan bargaining jurnalisnya juga lemah, jadi otomatis posisi mereka itu sangat rentan ya,” ungkap Nany.
Kasus-kasus yang mencuat sepanjang 2024 meliputi pemotongan gaji di bawah upah minimum, pesangon yang tidak dibayarkan, serta upaya pemberangusan serikat pekerja di CNN Indonesia. AJI menyebut kondisi ini sebagai "kekerasan ekonomi" terhadap jurnalis.
AJI juga menemukan, adanya praktik curang dari perusahaan media yang mengingkari adanya UU Ketenagakerjaan dalam mempekerjakan jurnalis. Praktik curang itu berupa penyiasatan kontrak kepada jurnalis dengan dalih kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kepada jurnalis.
Krisis Profesionalisme Jurnalis
Selain kekerasan dan ketidakstabilan ekonomi, AJI juga menyoroti merosotnya profesionalisme dalam dunia jurnalisme. Salah satu indikasi utama adalah kaburnya batas antara berita dan iklan.
"Ada pagar api yang terdobrak di situ. Jadi antara berita dengan iklan itu tidak kelihatan,” ujar Nany. Ketua Umum AJI ini juga mengungkapkan bahwa banyak media massa yang saat ini secara terang-terangan menjadikan jurnalisnya sebagai pencari iklan.
Kasus liputan besar-besaran terkait kepulangan Presiden Jokowi ke kampung halamannya menjadi contoh lain dari pelanggaran etika jurnalistik. Beredar dugaan bahwa sejumlah media dibayar untuk memberitakan acara tersebut, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika membantah tuduhan tersebut. Dewan Pers pun menegaskan bahwa media seharusnya membedakan antara berita dan iklan.
Selain itu, pemberitaan kasus kekerasan seksual juga menjadi sorotan, di mana banyak media masih mencantumkan nama korban serta detail peristiwa secara eksplisit, melanggar kode etik jurnalistik.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari. (Foto: Antara)
Kasus Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan pelapor berinisial CAT menjadi contoh terbaru dari praktik jurnalistik yang tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual.
“Itu kan beritanya jadi yang sensasional gitu lho. Karena media-media tertentu rata-rata mengharapkan clickbait atau penambahan perhatian publik terhadap isu ini meskipun caranya kadang-kadang melanggar UU Pers dan kode etik jurnalistik dan kode etik perilaku,” ungkap Nany.
Nany juga melihat tumpulnya sensitivitas jurnalis terhadap kelompok-kelompok marjinal. “Jadi nggak ada lagi terpikir untuk bagaimana melindungi kelompok-kelompok terpinggirkan ini, karena semua sibuk untuk menulis cepat atau berharap supaya tulisannya menjadi viral,” jelasnya.
Rekomendasi AJI
Untuk menghadapi tiga tantangan utama dalam dunia jurnalisme tahun 2024, AJI mengajukan lima rekomendasi bagi para stakeholders di dunia jurnalistik termasuk pemerintah & masyarakat:
1. Mendorong dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem jurnalisme yang berkualitas.
2. Menuntaskan kasus kekerasan terhadap jurnalis guna mencegah impunitas.
3. Memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
4. Menjamin perlindungan hukum bagi media alternatif dan independen.
5. Merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja untuk memperbaiki kesejahteraan pekerja media.
Penulis: Dhia Oktoriza