Sejarah 21 Februari 1949, Indonesia Kehilangan Sosok Tan Malaka

Tan Malaka. (foto: Istimewa)
FAKTA.COM, Jakarta – Pada 21 Februari 1949, Indonesia kehilangan salah satu tokoh bangsa yang memiliki peran penting dalam mendirikan negara ini. Tokoh itu bernama Tan Malaka.
Dia dieksekusi oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Peristiwa ini menandai akhir tragis dari perjalanan panjang seorang pejuang kemerdekaan yang kontroversial.
Siapakah Tan Malaka? Dia lahir dengan nama asli Ibrahim pada 2 Juni 1897 di Suliki, Sumatra Barat, dan bergelar Datuk Sutan Malaka.
Tan Malaka dikenal sebagai pemikir, guru, dan aktivis yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setelah menempuh pendidikan di Belanda, dia kembali ke Tanah Air dan terlibat aktif dalam pergerakan nasional, termasuk berkontribusi dalam pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tuntut Kemerdekaan Penuh Indonesia Tanpa Kompromi
Namun, pandangan dan pendekatannya yang radikal sering kali membuatnya berselisih dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya.
Menjelang akhir hayatnya, Tan Malaka memimpin Persatuan Perjuangan, sebuah koalisi yang menuntut kemerdekaan penuh Indonesia tanpa kompromi. Pandangan ini berbeda dengan sikap pemerintah saat itu yang cenderung moderat dalam negosiasi dengan Belanda. Perbedaan ini memicu ketegangan antara Tan Malaka dan pemerintah Republik Indonesia.
Setelah agresi militer kedua, 19 Desember 1948, dan Soekarno-Hatta ditawan Belanda, Tan Malaka mengalihkan kegiatan politiknya ke daerah Blimbing, Kediri, Jawa Timur.
Dengan jaminan seorang komandan batalion bernama Mayor Sabarudin, dia mendirikan Rakyat Murba Terpendam sebagai markas untuk menyebarkan pamflet dan berpidato memproklamasikan diri sebagai pemimpin revolusi Indonesia karena Soekarno-Hatta menjadi tawanan Belanda.
Akhir Tragis Perjalanan Panjang Sang Pahlawan
Pada awal 1949, markas Tan Malaka di Pace, Jawa Timur, disergap oleh pasukan TNI. Meskipun sempat dilepaskan karena ancaman serangan Belanda, Tan Malaka dan pengikutnya melarikan diri ke arah selatan. Dalam pelariannya, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk menghindari penangkapan.
Tan Malaka bersama empat pengikutnya menuju Tulungagung dengan harapan mendapatkan dukungan dari batalion TNI setempat. Namun, pada 21 Februari 1949, mereka disergap di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri oleh pasukan TNI dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya, yang dipimpin oleh Letnan Dua Soekotjo.
Tan Malaka dan pengikutnya ditangkap dan dieksekusi tanpa proses pengadilan. Eksekusi ini dilakukan atas perintah langsung Letnan Dua Soekotjo, tanpa instruksi dari atasan.
Dalam buku biografi seorang Komandan Batalyon Sikatan yang bertugas di Kediri, Soerachmad yang berjudul Satu Abad Memorabilia Soerachmad; Pejuang Kemerdekaan, Pendiri Divisi Brawijaya (2004) yang dikutip pada Jumat, (21/02/2024) dikisahkan bahwa Soerachmad bertanya kepada Hendrotomo, anak buahnya yang sekaligus atasannya Soekotjo. Dia bertanya tentang keadaan akhir Tan Malaka.
“Bagaimana dengan Tan Malaka?” tanya Soerachmad.
Hendrotomo menjawab, “Sudah dibereskan dan dikuburkan.”
“Ada proses?” tanya dia.
Hendrotomo melanjutkan “Ada proses”.
Sejarawan asal Belanda, Harry A. Poeze, dalam penelitiannya selama 40 tahun, mengungkap bahwa eksekusi tersebut merupakan inisiatif pribadi Soekotjo. Poeze juga mencatat bahwa kematian Tan Malaka dirahasiakan selama bertahun-tahun, tanpa ada laporan resmi atau pengusutan lebih lanjut.
Hingga pada 1963, pemerintah Indonesia secara resmi mengakui kontribusinya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tan Malaka.
Pemikirannya Jadi Inspirasi Soekarno-Hatta
Dalam karyanya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925), Tan Malaka menjelaskan konsep bangsa Indonesia dan perjuangan kemerdekaan pribumi untuk lepas dari kolonialisme. Oleh karena itulah, Tan Malaka mendapatkan julukan Bapak Republik Indonesia.
Pemikiran Tan Malaka sangat dipengaruhi oleh perjuangan rakyat dan semangat nasionalisme. Dia menekankan pentingnya perjuangan rakyat dalam mencapai kemerdekaan dan keadilan sosial. Pemikiran dan ide-idenya sangat dihormati oleh tokoh seperti Soekarno dan Mohammad Hatta.
(Penulis: Daffa Prasetia)