Tiga Catatan Penting Kegagalan Jokowi dalam Aspek Lingkungan
Pembakaran lahan gambut pada KHG Pulau Rupat, Provinsi Riau. (Dok. Pantau Gambut 2024)
FAKTA.COM, Jakarta - Pantau Gambut mengkritisi klaim Presiden Joko Widodo yang dinilai cukup berhasil dalam aspek lingkungan.
Dalam Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara, Jakarta, tanggal 16 Agustus 2024, Jokowi menyebutkan beberapa poin pencapaian pemerintah pada berbagai aspek.
Ada tiga poin yang dianggap berkebalikan dengan kenyataan di lapangan yaitu ketangguhan dalam menghadapi perubahan iklim, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, dan keadilan restoratif.
Pantau Gambut menyoroti pernyataan pertama Jokowi mengenai ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim, Menurut catatan, Indonesia semakin menjauhkan diri dari upaya penahanan laju peningkatan suhu bumi di angka 1,5 derajat celcius seperti komitmen pemerintah dalam Perjanjian Paris.
“Melampaui ambang batas suhu rata-rata bumi yang layak huni dengan membiarkan karhutla terus terjadi tentu saja bukan daya tahan menghadapi perubahan iklim.” ujar Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana dalam pernyataannya, dikutip Fakta pada Rabu (21/8/2024).
Hingga penghujung masa pemerintahan Jokowi, Indonesia terus saja digempur oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tercatat ada dua karhutla besar terjadi pada masa kepemimpinan Jokowi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa kejadian kebakaran Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) seluas 1,3 juta hektare di tahun 2015. Sementara, karhutla besar kedua yang terjadi pada 2019 membakar 735.718 hektare KHG.
Sepanjang tahun 2023, Pantau Gambut menemukan area indikatif kebakaran hutan dan lahan di area KHG seluas 524.869 hektare, angka yang mendekati 8 kali luas Provinsi Jakarta. Dan yang terbaru, 2.023 dari 6.284 titik panas yang tercatat, terjadi di wilayah milik perusahaan yang tersebar pada 229 KHG hingga Juli 2024.
Data sistem pemantauan karhutla SiPongi KLHLK menyebutkan pada 2024 terdapat lahan seluas 105.539 hektare yang terbakar. Sementara itu pada 2023 tercatat 1,16 juta hektare terbakar. Untuk menanggulanginya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memastikan operasi pengendalian kebakaran hutan lahan di enam provinsi prioritas masih akan dilakukan hingga November 2024.
Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional Berbasis Food Estate justru menjadi sumber konflik alih-alih memenuhi kepentingan rakyat. Menurut catatan Pantau Gambut, salah satu yang paling mencolok adalah program Food Estate di Kalimantan Tengah.
"Seperti terobsesi untuk melakukan proyek raksasa, pemerintah hendak mengulangi kesalahan yang sama dengan melakukan perluasan di area eks-PLG sejuta hektare untuk penanaman padi, singkong, dan jagung skala besar," kata Wahyu.
Pelaksanaan program ini sama sekali tidak melibatkan pengetahuan pangan lokal dan minim partisipasi masyarakat. Selain benih tanaman yang “dipaksakan” karena tidak sesuai dengan karakteristik lahan, penyerobotan lahan warga juga sarat terjadi, menurut Pantau Gambut.
Bahkan, berdasarkan analisis Pantau Gambut terhadap data KLHK, pada 2023 terdapat 91.352 hektare lahan yang terbakar di area eks-PLG. Angka ini mendekati luas area terbakar di kawasan yang sama pada El-Nino 2019 yang mencapai 153.193 hektar. Area yang seharusnya direstorasi tapi ditengarai malah menjadi area proyek Food Estate.
Presiden juga membanggakan penguatan keadilan restoratif yang pada nyatanya disalahgunakan agar menjadi alasan untuk mengampuni para perusak lingkungan.
“Praktik ini menjadi terlampau menyederhanakan konsep pertanggungjawaban hukum.” ujar Wahyu.
Ia memaparkan, hal ini dapat dilihat pada pemutihan 3,3 juta hektare area perusahaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan berkat Pasal 110a dan Pasal 110b UU Cipta Kerja. Sebuah kawasan yang ilegal menjadi perkebunan sesuai dengan Pasal 92 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Menurut dia, kegiatan ilegal tersebut seharusnya memberikan sanksi pidana kepada perusahaan. Nyatanya, perusahaan hanya perlu menyelesaikan sanksi administratif karena penerapan asas ultimum remidium pada UUCK. Asas yang mengedepankan sanksi administrasi sebelum sanksi pidana.
“Pengenaan sanksi administratif semestinya tidak serta merta menghapuskan tanggung jawab pidana terhadap korporasi yang selama ini beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan.” tukasnya.