FAKTA.COM, Jakarta - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti pentingnya mengalihkan fokus dari teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) ke energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN, Arya Rezavidi berpendapat bahwa CCS/CCUS, meski sering dibicarakan, masih belum menunjukkan implementasi nyata.
Menurutnya, alokasi dana dan perhatian terhadap teknologi ini sebaiknya diarahkan untuk mendorong perkembangan energi terbarukan yang lebih konkret.
"Lebih baik memberikan insentif atau dorongan kepada energi terbarukan. Penggunaan carbon capture dan CCUS itu hanya menjadi wacana saja karena belum ada realisasinya,” ujar Arya dalam acara Media Briefing Indonesia Solar Summit 2024 bertajuk “Membangun rantai pasokan tenaga surya di Indonesia untuk mendukung transisi energi yang cepat dan industri hijau” yang diadakan pada Selasa (13/8/2024).
Ia juga menyoroti tantangan utama dalam pengembangan energi surya di Indonesia, terutama mengenai inkonsistensi dalam implementasi kebijakan. Meskipun ada target ambisius untuk transisi ke energi terbarukan, pelaksanaannya sering kali tidak konsisten, dan kebijakan yang ada tidak terintegrasi dengan baik.
"Target yang dikembangkan saat ini memang tidak menarik karena selalu dibandingkan dengan biaya pembangunan ekosistem yang tidak pernah memperhitungkan externality cost,” jelas Arya.
Biaya eksternal (externality cost) merujuk pada dampak negatif dari aktivitas ekonomi yang tidak tercermin dalam harga pasar, seperti polusi yang dihasilkan oleh pembangkit fosil.
Menurut Arya, kurangnya perhatian terhadap biaya eksternal ini membuat harga energi terbarukan terlihat kurang kompetitif dibandingkan energi fosil. Padahal tujuan utama dari pembangunan PLTS adalah untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Selain itu, Arya mengkritik minimnya insentif yang diberikan pada tahap awal pengembangan energi surya, padahal percepatan transisi energi sangat diperlukan. Salah satu hambatan utama adalah aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang belum mencerminkan kemampuan rantai pasok industri dan daya saing industri dalam negeri.
Produsen dalam negeri, kata Arya, cenderung berproduksi berdasarkan proyek yang ada, berbeda dengan pabrikan di China yang terus memproduksi untuk ekspor meskipun tanpa proyek.
Untuk akselerasi pengembangan energi surya, Arya menekankan perlunya kemauan politik yang kuat, target nasional yang realistis dan terarah, serta kerangka kebijakan dan regulasi yang konsisten.
Koordinasi antara BRIN, Kementerian/Lembaga (K/L), dan pemerintah daerah juga sangat penting untuk memastikan riset dan inovasi teknologi dapat menjadi penggerak utama dalam membangun industri energi surya yang berkelanjutan di Indonesia. Optimalisasi investasi dari pemerintah pusat, daerah, dan swasta juga diperlukan untuk mencapai target energi terbarukan yang telah ditetapkan.