Fakta.com

Menkes Siap Rekrut Calon Dokter Spesialis dari Daerah: Biar Merata

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025). Foto: TV Parlemen

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025). Foto: TV Parlemen

Google News Image

FAKTA.COM, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) siap menerapkan sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia dengan menerapkan skema rekrutmen berbasis daerah untuk mengatasi ketimpangan distribusi dokter spesialis.

Menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (29/4/2025), hal itu ditujukan agar distribusi dokter spesialis merata.

“Layanan jantung, orang kena stroke, kena jantung, di Jawa kemungkinan beberapa kota selamat, kalau di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, kemungkinan besar meninggal karena enggak ada dokternya,” ujarnya.

Budi mengatakan tidak meratanya pemenuhan tenaga medis, terutama dokter spesialis, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) disebabkan karena konsentrasi institusi pendidikan dokter spesialis selama ini terpusat di Pulau Jawa. Sebagian besar peserta pendidikannya pun berasal dari wilayah yang sama.

“Tidak mungkin kemudian suruh pindah, hidup, di Taliabu atau Anambas, kan susah,” tegasnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, Budi menyebut akan menjalankan sistem baru lewat Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU). Sistem ini merekrut calon dokter spesialis dari rumah sakit-rumah sakit daerah yang belum memiliki tenaga ahli, dengan harapan mereka kembali bertugas di tempat asal setelah menyelesaikan pendidikan.

“Rekrutmennya kita akan ambil dari putra-putri daerah dari rumah sakit-rumah sakit yang tidak ada spesialisnya,” kata Budi.

Skema baru ini juga dikaitkan dengan beratnya biaya pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), sehingga pesertanya pun kebanyakan dari golongan ekonomi menengah atas.

“Jadi beda kalau sekarang kan yang punya uang, dia ngelamar, kalau kita enggak, kita bikin yang pendidikannya untuk rumah sakit yang belum punya spesialisnya,” kata Budi.

Budi menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan mengubah sistem rekrutmen PPDS yang sudah berjalan di Universitas, melainkan akan diterapkan berdampingan dengan skema PPDS berbasis RSPPU baru ini.

Selain itu, peserta program ini pun tetap berstatus sebagai dokter umum dan pegawai kontrak di rumah sakit masing-masing.

Budi juga memastikan bahwa mereka akan tetap menerima gaji, mulai dari Rp5 juta di awal masa pendidikan hingga Rp10 juta per bulan saat memasuki tingkat akhir.

Sistem ini dirancang agar para peserta tidak kehilangan penghasilan dan tidak perlu keluar dari pekerjaan seperti yang terjadi dalam sistem pendidikan sebelumnya.

“Kalau jadi dokter spesialis kan mesti berhenti bekerja, dengan sistem pendidikan sekarang, belajar selama 4 tahun tidak ada income. Itu yang menyebabkan kenapa dokter spesialis biasanya anak orang kaya,” ujar Budi.

Ia menyebut, sistem baru ini mengacu pada standar internasional Accreditation Council for Graduate Medical Education International (ACGME-I), termasuk dalam hal perlindungan hak peserta.

Budi optimistis reformasi pendidikan ini juga dapat menjamin mutu pendidikan kedokteran yang setara dengan standar global.

Trending

Update News