Kisruh Pelatihan 'Tukang Gigi,' Kemenkes: Kesalahan Istilah

Ilustrasi dokter gigi. Freepik.
FAKTA.COM, Jakarta - Pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang menyebut tukang gigi akan ditingkatkan keterampilannya mengundang kegaduhan. Kemenkes klarifikasi bahwa yang dimaksud bukanlah tukang gigi tradisional tak bersertifikasi.
Usulan Budi yang mengundang kritik ini didasari oleh banyaknya temuan kasus sakit gigi dalam program cek kesehatan gratis (CKG). Mulanya ia menyoroti minimnya dokter gigi di puskesmas yang disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan. Lalu Budi menyebut “tukang gigi” perlu ditingkatkan kemampuannya.
Pernyataan ini kemudian ramai dikritik oleh warganet di media sosial. Warganet mengeluhkan bahwa Menkes malah menjadi pihak yang mempromosikan tukang gigi dibandingkan tenaga profesional.
Merespon hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberi klarifikasi bahwa yang dimaksud oleh Menkes bukanlah memberi pelatihan kepada tukang gigi tradisional, melainkan meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan resmi yaitu Terapis Gigi dan Mulut (TGM), yang sudah memiliki latar pendidikan formal di bidang kesehatan gigi.
“Pernyataan Menkes yang akan mendidik tukang gigi agar bisa ditingkatkan skill-nya, merupakan kesalahan istilah. Yang beliau maksud adalah Terapis Gigi dan Mulut (TGM) yang memiliki pendidikan formal. Jadi jelas Menkes tidak akan meningkatkan skill tukang gigi,” sebut Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes dalam rilis yang diterima Fakta.com, Rabu (16/4/2025).
Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes juga membenarkan bahwa berdasarkan data terakhir, 50 persen warga Indonesia mengalami gangguan kesehatan gigi dan mulut.
“Sedangkan, jumlah dokter gigi kita kurang, per April 2025 di Indonesia terdapat 73,2 persen (7.475) Puskesmas yang sudah tersedia dokter gigi dan 26.8 persen (2.737) yang belum ada dokter gigi,” katanya dalam rilis.
Distribusinya pun disebut timpang. Kebanyakan dokter gigi terkonsentrasi di kota-kota besar, meninggalkan daerah-daerah terpencil, terutama wilayah 3T, dalam kondisi minim akses layanan gigi.
Kemenkes mencatat kekurangan sekitar 10.309 dokter gigi dari jumlah yang seharusnya tersedia secara nasional.
Kebutuhan ini tidak sebanding dengan jumlah lulusan baru yang rata-rata hanya 2.650 orang per tahun dari 38 Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) yang ada, Kemenkes memperkirakan bahwa kesenjangan ini akan terus berlangsung.
Menghadapi situasi ini, Kemenkes menekankan perlunya terobosan yang cepat dan strategis. Salah satunya adalah optimalisasi SDM kesehatan lain di daerah yang tidak memiliki dokter gigi, melalui pelatihan tambahan sesuai aturan yang tercantum dalam Permenkes 19 Tahun 2024.
Kemenkes juga telah menjalankan berbagai inisiatif seperti pembukaan kembali pendirian FKG yang sempat dimoratorium, penambahan kuota mahasiswa kedokteran gigi, program internship dokter gigi, serta penugasan khusus ke wilayah terpencil.
Tak hanya itu, beasiswa afirmasi juga disiapkan agar setelah menyelesaikan pendidikan, para tenaga kesehatan baru bisa kembali dan memperkuat layanan kesehatan di kampung halamannya.