Legenda Hidup di Kutai: Pesona Pohon Ulin Berusia 1.000 Tahun

Pohon ulin raksasa berusia lebih dari 1.000 tahun berdiameter 2,52 meter berdiri gagah di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. (ANTARA/Ahmad Rifandi)
FAKTA.COM, Jakarta - Tersembunyi di rimbunnya hutan Kalimantan Timur, Taman Nasional Kutai (TNK) menyuguhkan pengalaman wisata yang menyatu dengan alam. Lebih dari sekadar destinasi hijau, TNK merupakan rumah bagi keragaman hayati yang menakjubkan sekaligus saksi bisu upaya panjang pelestarian ekosistem tropis Kalimantan.
Dikutip dari Antara, Selasa (8/4/2025), salah satu daya tarik utama kawasan ini adalah pohon ulin raksasa spesies endemik Kalimantan yang dijuluki “kayu besi” karena kekuatannya. Berdiri tegak dan megah, pohon ulin yang ditemukan pada tahun 1993 ini tercatat memiliki diameter 2,42 meter.
Tiga dekade kemudian, pengukuran tahun 2023 menunjukkan diameter batangnya mencapai 2,52 meter. Pertumbuhannya yang lambat justru menguatkan estimasi usia pohon ini yang diperkirakan lebih dari seribu tahun.
Pohon ini menjadi monumen hidup yang menyimpan cerita panjang hutan Kalimantan. Keberadaannya bukan hanya mencerminkan keajaiban alam, tetapi juga menjadi simbol pentingnya menjaga warisan ekologis yang tak tergantikan.
Petualangan Menyusuri Jalur Sangkima
Bagi para pelancong yang menjelajah zona wisata Jungle Park Sangkima, perjalanan menuju pohon ulin raksasa bukan sekadar trekking biasa. Jalur sepanjang lima kilometer ini menyuguhkan pemandangan hutan tropis yang masih alami. Gemericik air Sungai Sangkima dan anak-anak sungainya menjadi teman setia sepanjang perjalanan.
Jembatan-jembatan kayu ulin yang melintasi sungai, tanjakan curam, jembatan gantung yang berayun, hingga rumah pohon dengan panorama dari ketinggian menciptakan sensasi petualangan yang menantang sekaligus menyegarkan.
Udara yang segar, bercampur aroma tanah basah dan dedaunan, menghadirkan ketenangan yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk kota. Namun, puncak dari semua itu adalah tatapan pertama pada sang ulin raksasa momen magis yang membungkam langkah dan membangkitkan rasa kagum mendalam terhadap kebesaran alam.
Sejarah Panjang Konservasi TNK
Budi Isnaini, Kepala Seksi Pengelolaan TNK Wilayah I Sangatta, menjelaskan bahwa perjalanan kawasan ini dimulai sejak era Hindia Belanda. Tahun 1932, TNK ditetapkan sebagai Hutan Persediaan seluas dua juta hektare, dan pada 1936 ditingkatkan statusnya menjadi Suaka Margasatwa Kutai seluas 190.000 hektare oleh Kesultanan Kutai.
Status kawasan sempat mengalami beberapa kali perubahan luas, terutama pada tahun 1957 dan 1971, karena kebutuhan pembangunan dan penyesuaian tata ruang. Namun, semangat untuk menjaga kelestariannya tetap konsisten.
Puncaknya terjadi pada tahun 1991, ketika kawasan ini resmi ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas 198.629 hektare. Penetapan tersebut memperkuat perlindungan terhadap flora, fauna, serta ekosistem unik Kalimantan, termasuk dalam mendukung program reintroduksi orang utan.
“Dengan status taman nasional, kawasan ini mendapatkan perlindungan hukum yang lebih kuat,” kata Budi, dikutip dari Antara, Selasa (8/4/2025).
Selanjutnya, TNK diakui sebagai bagian dari Koridor Keanekaragaman Hayati Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Bahkan, sejak 2021, kawasan ini menyandang status Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), yang membuka peluang untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Namun, rencana tata ruang provinsi terbaru tahun 2024 mencatat adanya pengurangan luas TNK sekitar 400 hektare, yang sebagian besar merupakan area pemukiman yang sudah lama ada. Budi menegaskan bahwa fungsi konservasi tetap dijaga, dengan pemerintah pusat dan daerah terus berkoordinasi agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan lahan.
Lebih dari Hutan, TNK Adalah Sekolah Alam
Bukan hanya sebagai lokasi wisata, TNK memiliki fungsi vital sebagai pusat edukasi lingkungan. Zonasi yang diterapkan membagi kawasan menjadi empat bagian: zona inti (yang steril dari aktivitas), zona pemanfaatan (untuk wisata dan kegiatan masyarakat), zona rehabilitasi (untuk pemulihan ekosistem), dan zona penyangga (yang melindungi kawasan dari tekanan eksternal).
“Banyak yang masih menyamakan TNK dengan hutan lindung biasa, padahal cakupannya jauh lebih luas. Di dalamnya ada perlindungan satwa liar dan ekosistem langka,” kata Budi.
Pemanfaatan kawasan pun dibatasi. Masyarakat hanya boleh memanfaatkan sumber daya secara tradisional, seperti mengambil rotan, dan itu pun hanya oleh penduduk sekitar.
Keberadaan rumah pohon, jalur trekking edukatif, hingga interaksi langsung dengan kekayaan hayati membuat TNK bukan hanya ruang konservasi, tetapi juga sarana pembelajaran dan kesadaran akan pentingnya menjaga hutan sebagai paru-paru dunia.
Taman Nasional Kutai bukan sekadar lanskap hijau di peta Kalimantan. Ia adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati, warisan alam yang tak ternilai, dan simbol komitmen terhadap keberlanjutan. (Kiki Annisa Fadilah)