Nawu Sendang Seliran, Tradisi Sambut Ramadan di Yogyakarta

Kirab merupakan salah satu prosesi tradisi Nawu Sendang Seliran. (foto: Perpustakaan Kotagede)
FAKTA.COM, Jakarta – Indonesia merupakan negeri yang kaya akan tradisi. Setiap daerah dari Sabang sampai Merauke memiliki ciri khas tradisi tersendiri, seperti menyambut bulan Ramadan.
Salah satunya adalah tradisi Nawu Sendang Seliran. Tradisi itu merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Islam.
Dikutip dari budaya.jogjaprov.go.id dan artikel “Dialektika Agama dan Budaya dalam Berkah Nawu Sendang Selirang” yang tayang di Jurnal Kebudayaan Islam, pada Selasa (24/02/2025), Nawu Sendang Seliran merupakan tradisi membersihkan kolam yang berada di bekas lingkungan Kerajaan Mataram Awal di Kotagede. Setiap memasuki Minggu Wage, Bulan Rajab, pada penanggalan jawa, masyarakat secara berbondong-bondong merayakan tradisi ini. Saat memasuki bulan Ramadan, kondisi sendang sudah dalam keadaan bersih.
Biasanya tradisi Nawu Sendang Seliran dilakukan oleh para abdi dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di kompleks makam raja Mataram.
Sejarah Tradisi Nawu Sendang Seliran
Sendang Seliran terdiri dari dua kolam utama, yaitu Sendang Kakung dan Sendang Putri. Menurut catatan sejarah, sendang ini dibangun oleh Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam, pada tahun 1601 Masehi.
Pembangunan sendang ini bertujuan sebagai tempat pemandian bagi keluarga kerajaan, dengan pemisahan berdasarkan jenis kelamin: Sendang Kakung untuk laki-laki dan Sendang Putri untuk perempuan. Selain fungsi utamanya, sendang ini juga memiliki nilai spiritual sebagai sumber kesucian dan kebersihan.
Tradisi Nawu Sendang Seliran biasanya dilaksanakan setiap tahun pada bulan Rajab dalam penanggalan Jawa, tepatnya pada Minggu Wage. Prosesi ini diawali dengan persiapan ubo rampe atau sesajen oleh para abdi dalem di kompleks Pasarean Mataram. Ubo rampe tersebut meliputi dua gunungan—Gunungan Kakung dan Gunungan Putri—serta replika Masjid Gede Mataram Kotagede dan perlengkapan seperti siwur untuk menguras sendang.
Keesokan hari, arak-arakan dimulai dari Balai Desa Jagalan menuju Masjid Besar Mataram Kotagede. Kirab budaya ini diikuti oleh ratusan abdi dalem dari Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, serta masyarakat setempat yang berperan sebagai prajurit atau bregodo.
Setibanya di masjid, dilakukan penyerahan simbolis siwur dari kepala desa kepada pimpinan abdi dalem juru kunci Pasarean Mataram Kotagede.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan pengambilan air dari sendang menggunakan siwur sebanyak tiga kali, yang kemudian dimasukkan ke dalam kendi dan dibawa dengan jodhang yang dipikul. Air ini dipercaya memiliki nilai kesucian dan keberkahan bagi masyarakat.
Perkembangan dan Pelestarian
Seiring berjalannya waktu, tradisi Nawu Sendang Seliran sempat mengalami penurunan partisipasi dan hampir terlupakan. Namun, pada tahun 2009, sekelompok masyarakat Kotagede berinisiatif untuk menghidupkan kembali tradisi ini.
Upaya pelestarian tersebut melibatkan pengemasan acara dengan konsep yang lebih menarik, termasuk pagelaran budaya dan kirab yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Selain sebagai bentuk pelestarian budaya, kegiatan ini juga bertujuan untuk menarik minat wisatawan dan memperkenalkan kekayaan budaya Kotagede kepada khalayak luas.
(Penulis: Daffa Prasetia)