Mutasi Besar-Besaran MA, Bisa Sikat Kasus Jual Beli Putusan Hakim?
Ilustrasi. Mahkamah Agung melakukan mutasi hakim besar-besaran usai kasus suap hakim PN Jakpus. (dok. Mahkamah Agung)
FAKTA.COM, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memutasi sebanyak 199 hakim dan pimpinan pengadilan negeri di seluruh Indonesia berdasarkan hasil rapat pimpinan terkait mutasi promosi hakim dan panitera pada Selasa (22/4/2025). Efektifkah memangkas praktek suap putusan?
“Saya berharap bahwa mutasi promosi ini yang merupakan penyegaran dapat memberikan semangat yang lebih besar lagi kepada para hakim dan para aparatur pengadilan untuk berkinerja lebih baik lagi,” ucap Ketua MA, Sunarto, dalam keterangan rilisnya, Rabu (23/4/2025), dilansir dari Antara.
Berdasarkan dokumen hasil rapat yang dilihat dari laman resmi Badan Peradilan Umum (Badilum) MA, mayoritas dari total 199 hakim dan pimpinan pengadilan negeri yang dimutasi tersebut berasal dari wilayah kerja Jakarta.
Sebanyak 11 hakim yang dimutasi berasal dari PN Jakarta Pusat, 11 hakim dari PN Jakarta Barat, 13 hakim dari PN Jakarta Selatan—satu di antaranya mendapat promosi, 14 hakim dari PN Jakarta Timur, dan 12 hakim dari PN Jakarta Utara.
Selain itu, pimpinan pengadilan di Jakarta juga dirombak. PN Jakarta Pusat bakal dipimpin Husnul Khotimah yang sebelumnya Ketua PN Balikpapan; Ketua PN Jakarta Selatan akan dijabat Agus Akhyudi yang dahulunya Ketua PN Banjarmasin, dan Ketua PN Jakarta Utara akan diisi Yunto S. Hamonangan Tampubolon yang sebelumnya Ketua PN Serang.
Mutasi besar-besaran ini dilakukan MA tidak lama setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan tiga hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di PN Jakarta Pusat ditetapkan sebagai tersangka suap dan/atau gratifikasi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus putusan lepas tiga korporasi sawit.
Komisi Yudisial (KY) menilai mutasi besar-besaran ini merupakan upaya serius untuk melakukan pembenahan lembaga peradilan pasca-kasus suap dan gratifikasi.
"KY juga siap memberikan masukan dan informasi terkait hakim-hakim yang berintegritas melalui rekam jejak yang pernah dilakukan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan mutasi hakim," ujar Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, dalam keterangan rilis yang diterima FAKTA, Rabu (23/4/2025).
Mutasi harus cek riwayat putusan
Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo berharap mutasi ini dapat memperbaiki citra MA yang sudah tercoreng.
"Kita berharap dengan penyegaran seperti itu, mutasi tersebut bisa betul-betul membuat Mahkamah Agung citranya tidak lagi tercoreng dan tercederai oleh kasus-kasus yang selama ini sangat merugikan korps peradilan kita," kata dia, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Rudianto mendorong penempatan hakim-hakim yang baru dimutasi ini didasarkan atas integritas yang bisa dinilai berdasarkan putusan-putusan mereka.
"Kalau ada hakim yang punya banyak aduan di Komisi Yudisial, punya aduan di badan pengawas, jangan tempatkan hakim-hakim itu. Ganti dengan hakim-hakim yang betul-betul punya dedikasi dan integritas," ucap dia.
Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo soal kasus suap hakim
Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo merespons kasus suap dan mutasi hakim di MA, Jakarta, Kamis (24/4/2025). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
"Kalau kemudian hakim dalam memutus perkara, membebaskan terdakwa, kesannya akan muncul, pasti ada bayar-membayar. Nah, ini yang kita tidak mau. Jangan sampai ada persepsi di masyarakat, putusan hakim ditentukan oleh sarapan paginya," serunya.
I Wayan Sudirta, Anggota Komisi III DPR lainnya, melansir Antara, menyatakan "bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo."
Salah satu penyebabnya, kata dia, adalah sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karier yang seringkali tidak transparan dan "banyak titipan."
"Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan utang budi tersebut," tuturnya.

Salah satu hakim Tipikor PN Jakpus yang ditangkap di kasus suap putusan lepas Wilmar Group dkk. (dok. Kejagung)
"Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada koneksi."
Persoalan ini, lanjut Sudirta, diperparah dengan sistem pembinaan karier yang tidak meritokratis, "sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan."
Anggota Fraksi PDIP ini pun mendorong transparansi dalam hal rekrutmen, pembinaan karier, uji kompetensi, dan peningkatan integritas.
Dia juga menyebut sistem pembinaan karier, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan.