Cerita Lara Eks Pemain Sirkus OCI: Disiksa Pakai Setrum Gajah

Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.)
Fakta.com, Jakarta - Sejumlah korban dugaan eksploitasi pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) di Taman Safari Indonesia mengadu ke Komisi XIII DPR RI. Beragam penyiksaan mereka alami saat menjadi pemain sirkus OCI.
Vivi, salah satu korban eksploitasi menceritakan dirinya diambil dan dipisahkan dari keluarga oleh pihak OCI sejak kecil. Dia bahkan tak tahu saat itu dirinya umur berapa dan siapa kedua orang tuanya.
"Saya tahunya sejak umur 2 tahun itu dilatih sirkus di rumah Pondok Indah setelah umur 3-4 tahun saya dibawa ke OCI," kata Vivi saat ditemui awak media seusai rapat bersama Komisi XIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/4/2025).
Vivi menceritakan sejak belia itulah ia sudah mengalami kekerasan bahkan tendangan. Ia mengaku apabila tak bisa latihan maka akan mendapatkan kekerasan. Kemudian, pada umur 12-13 tahun, Vivi dipindahkan ke Taman Safari Indonesia di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
"Di sana saya pikir hidup saya lebih baik tidak dapat penyiksaan ternyata di Taman Safari saya lebih keras dilatih. Saya dapat penyiksaan lagi, sampe saya melarikan diri karena saya tak tahan. Setelah saya melarikan diri tiga hari kemudian saya menghirup udara luar, saya ketangkep lagi dengan sekuriti setelah itu saya dibawa ke pos sekuriti," ungkapnya.
Saat di pos sekuriti itulah, Vivi mengaku dirinya disetrum dengan setruman gajah.
"Di tengah jalan pun saya dipukuli, dikata-katain kasar, sampai rumah saya dimasukin ke kantornya dan saya disetrum sama setruman gajah," tangisnya.
Meski sudah meminta ampun, Vivi tetap mendapat pukulan dan penyiksaan. Rambutnya ditarik dan mukanya ditampar, bahkan perutnya juga ditendang.
"Sampai kelamin saya disetrumin, saya jatuh, sampai lemes. Saya dirantai selama dua minggu, dipasung, setelah dua minggu dipasung saya dibebaskan, seperti biasa saya latihan dan berapa tahun kemudian saya melarikan diri lagi, karena saya enggak tahan hidup di Taman Safari karena penyiksaan itu," imbuh Vivi.
Saat itu, dirinya dibebaskan oleh rekannya dan memberanikan diri untuk lapor ke Komnas HAM.
"Akhirnya saya ditolongin oleh mantan saya melarikan diri dari Taman Safari itu akhirnya saya lolos, saya dibawa ke Semarang dinikahkan dan akhirnya saya memberanikan diri melapor ke Komnas HAM," ujar Vivi.
Sementara itu, Yuli, korban lainnya, menceritakan dirinya telah dipisahkan dari orang tuanya sejak kecil. Ia menceritakan saat bekerja di OCI, dirinya menemukan surat kelahirannya. Dari situlah, dia berniat untuk mencari orang tuanya.
"Saya tahun 1975 dengan kakak saya. Saya menemukan orang tua itu bukan dari mereka. Karena saya menemukan surat itu tadi ya. Surat seperti kelahiran gitu. Saya mencari orang tua saya di tahun 1987," cerita Yuli.
Dia menceritakan dirinya bisa bertemu dengan orang tuanya saat tampil sirkus di lapangan Bekasi. Saat itu, orang tuanya itu mendengar bahwa ada sirkus. Karena itu, orang tuanya menghadiri acara sirkus itu.
"Kan, mama saya orang Bekasi. Saya tinggalnya di Bekasi. Nah, terus begitu keluarga saya mendengar. Ada yang mencari. Akhirnya datanglah ke lapangan. Pada saat itu sirkusnya sudah akan pindah dua hari lagi. Akhirnya datang dan menemui saya gitu kan," tutur Yuli.
Meski telah bertemu dengan keluarganya, Yuli mengaku tetap bermain sirkus di OCI. Namun, pada 1986, dia mengaku sempat kabur.
Sayangnya, pelarian Yuli itu terciduk oleh pemilik OCI, Frans Manangsang. Bahkan, dia mengaku Frans juga ingin melakukan pelecehan terhadapnya.
"Ketahuan kan sama si Frans. Saya dipukulin. Dipukulin sampai kita dilakukan pelecehan. Saya disuruh buka baju disitu. Tapi saya enggak sampai diapa-apain. Karena saya terselamatkan oleh jamnya pertunjukan untuk saya. Tapi teman saya Eva itu sampai dilakukan pelecehan seksual sama si Frans," ujar Yuli.
OCI Diduga Milik Puskopau
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendapatkan adanya temuan bahwa TNI Angkatan Udara (AU) pernah tercatat sebagai pemilik Oriental Circus Indonesia (OCI). Hal ini berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh tim Komnas HAM pada 1997, ketika kasus pelanggaran HAM pada dugaan eksploitasi pemain sirkus OCI terungkap.
“Komnas HAM juga menerima SK Nomor SKep/20/VII/1997 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Pusat Koperasi Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma yang pada Pasal 10 huruf (a) terkait Unit Usaha Jasa Niaga Umum milik Puskopau salah satunya sirkus,” ungkap Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam rapat bersama Komisi XIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/4/2025).
Atnike menjelaskan bahwa ada dokumen yang menyatakan OCI pernah berada di bawah Pusat Koperasi Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma. Ia pun mengatakan selanjutnya, Komnas HAM akan menelusuri kembali temuan-temuan tersebut.
“Itu ada surat keterangan yang ditemukan oleh Komnas HAM terkait keterkaitan badan hukum Puskopau salah satunya kepemilikan atas sirkus,” tandas Atnike.
Tak Ada Jalan bagi Proses Hukum?
Anggota Komisi III DPR, Rudianto Lallo, mengatakan kasus dugaan kekerasan terhadap pemain sirkus OCI sudah kedaluarsa secara hukum. Menurutnya, apabila melihat dari perspektif hukum, maka sudah tak ada jalan lagi untuk memidanakan kasus dugaan kekerasan tersebut.
"Kalau bicara hukum, tidak ada lagi jalannya. Karena sudah kadaluarsa penuntutannya. Karena tempus kejadiannya sudah 28 tahun. Sudah kadaluarsa dalam bicara hukum. Saya bicara hukum," kata Rudianto saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).
Rudianto berharap kasus ini bisa selesai secara kekeluargaan. Terlebih, Komisi XIII DPR RI telah menggelar rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
"Kita harapkan selesailah secara kekeluargaan. Apalagi Komisi XIII dalam perspektif hak asasi manusia, dia juga sudah menggelar rapat dengar pendapat. Saya berharap kedua belah pihak bisa menyelesaikan secara kekeluargaan. Itu menjadi harapan," ucap Rudianto.
Rudianto menjelaskan waktu kejadian kasus ini pada 1997 tak bisa lagi dijerat dengan pasal-pasal dalam hukum pidana, sebab masa tuntutannya sudah kadaluarsa, yakni hanya sampai 18 tahun apabila korban meninggal dunia.
"Kalau bicara hukum, kau pidana kita, misalkan dikenakan Pasal 351 penganiayaan, 352, 353 tentang penganiayaan berat, bahkan meninggal dunia pun, itu sudah kadarluasa penuntutannya. Di Pasal 78, 79 kau pidana itu, masa kadarluasanya itu diatur. Kalau mengakibatkan meninggal dunia, itu 18 tahun masa kadarluasanya. Dan ini kejadian sudah 28 tahun," tutur Rudianto.
Wakil Ketua Mahkamah Partai NasDem itu turut mengatakan penyelesaian secara kekeluargaan merupakan rekomendasi dari Komnas HAM.
"Karena itu, Komisi III ketika menggelar dengar pendapat, kita berharap penyelesaian secara kekeluargaan. Itu juga yang menjadi rekomendasi dari Komnas HAM di mana rekomendasinya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kita berharap menggugah hati pimpinan-manajemen OCI untuk bisa peka, bisa peduli terhadap suara-suara korban, suara yang mencari keadilan korban-korban ini. Kalau satu minggu ini kemudian ada solusi kekeluargaan, saya kira kasus ini sudah selesai. Tidak perlu berlarut-larut," kata Rudianto.