Update Kasus Eksploitasi Pemain Oriental Circus Taman Safari

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni bicara soal kasus dugaan praktik eksploitasi pemain sirkus. (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
Fakta.com, Jakarta - Kasus dugaan praktik eksploitasi yang dialami mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari telah masuk ke tahap rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, mengatakan kasus ini sebenarnya sudah kedaluarsa apabila melihat dari sisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Nah, ini kan kasus perkara sudah 35 tahun. Kalau ngomong dalam aturan pendagangan hukum, ini udah kadaluarsa. Enggak bisa ini barang. Cuman karena kan si pelapor mengharapkan ada keadilan. Yang di mana, tolong dong lu perhatiin gue dalam keadaan seperti dulu tuh gue dieksploitasi," ujar Sahroni saat ditemui awak media seusai memimpin audiensi mantan pegawai OCI bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).
Sahroni pun meminta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Menurutnya, baik pengelola dan para pemain mantan sirkus seharusnya duduk bersama untuk mencari titik tengah apa yang diharapkan oleh para pihak.
"Disikapi dengan secara kekeluargaan. Nah, teman-teman kan tadi juga lihat bahwa ada aspek harapan dari si pelapor terkait apa yang menjadi tanggung jawab permintaan kepada pengelola. Nah, tapi kan si pengelola sendiri merasa dirugikan karena pemberitaannya tidak sepenuhnya benar," sambungnya.
Sahroni mengungkapkan, pihak pengelola pun merasa keberatan dengan pemberitaan negatif yang mencuat belakangan ini. Selain itu, bagi Sahroni, pelatihan sirkus wajar saja terjadi pendisiplinan seperti yang dilakukan OCI.
"Nah, tapi kalau ngomong eksploitasi, kan kalau di sirkus itu, itu kan pelatihan yang sama persis dengan kayak seolah-olah ditarget. Oh, lu harus begini, aku begini, gitu. Nah, itu dianggap menjadi hal seolah-olah pelanggaran HAM. Tapi kan kalau ngomong sirkus, ya itulah sirkus pelatihannya memang begini ya," kata Bendahara Umum Partai NasDem itu.
Sahroni pun memberikan tenggat waktu tujuh hari untuk para pihak dapat duduk bersama dan berdamai. Adapun, apabila setelah tujuh hari tidak dapat diselesaikan, maka Komisi III DPR akan mendorong para pihak untuk menyelesaikan permasalahan melalui jalur hukum.
Polda Jabar Belum Bisa Proses Hukum
Di sisi lain, Polda Jawa Barat (Jabar) mengaku belum bisa memproses kasus ini. Dirreskrimsus Polda Jabar, Kombes Surawan, mengatakan hal itu dikarenakan belum ada aduan terkait kasus tersebut.
"Sejauh ini kita belum menerima laporan, pun dari pihak korban, jadi kita belum menangani apa-apa," ujar Surawan saat ditemui awak media seusai menghadiri audiensi mantan pegawai OCI bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).
Surawan mengatakan pihaknya tidak akan 'menjemput bola' kepada korban. Ia memastikan pihaknya akan menunggu laporan terkait kasus tersebut.
“Kita kalau seperti ini harus ada laporan dulu dari para korban. Coba nanti kita coba menghubungi para korbannya, kalau memang mau melaporkan kita terima laporannya. Tapi kan masalah ini sudah lama, sudah kadaluarsa kan,” tuturnya.
Adapun, terkait audiensi hari ini, Surawan mengungkapkan bahwa pimpinan Komisi III DPR telah mempersilakan para korban untuk menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan dengan pihak pengelola OCI sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM.
"Tadi kalau dari pimpinan menyampaikan bahwa ya silahkan para pihak untuk bertemu dulu kan, selesaikan secara keluarga dan sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM. Itu sih intinya ya," ungkapnya.
Korban Ingin Dorong Kasus Jadi Pelanggaran HAM Berat
Kuasa hukum mantan permain sirkus OCI, Muhammad Sholeh, mengatakan para korban mendesak agar kasus ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab, apabila dikategorikan sebagai kasus pidana biasa, maka benar kasusnya sudah kedaluarsa karena sudah 28 tahun berlalu.
Akan tetapi, kasus pelanggaran HAM berat tak memiliki batas waktu. Sehingga, apabila diselesaikan melalui penyelesaian pelanggaran HAM berat, maka akan menemukan sedikit titik terang bagi para korban.
"Jadi saya terus terang, dalam kasus ini, kami ingin mendorong Komisi III itu bahwa ini adalah pelanggaran HAM berat. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat itu tidak ada kedaluarsa. Ini eksploitasi, perbudakan, ada kekerasan, ada penyiksaan. Bagi saya, ini sudah memenuhi kualifikasi itu,” katanya.
“Tetapi, karena Komisi III punya iktikad baik, tentu kita menghargai. Tetapi makanya tadi kami ingin kepastian, apa jaminan kalau satu minggu ternyata tidak ada iktikad baik. Toh rekomendasi Komnas HAM tahun 1997, yang katanya sudah dijalankan. Tanya, ini yang melaporkan. Ini yang melaporkan Komnas HAM. Ini yang disetrum vaginanya itu. Satu rupiah pun tidak ada itu kompensasi. Iktikad baik apa? Ini sudah 28 tahun. Makanya, kalau memang ndak ada punya iktikad baik, ayo," tutur Sholeh di lokasi yang sama.
Sholeh berujar selama ini pelanggaran HAM berat susah diadili di negara Indonesia karena pelakunya merupakan bagian dari negara. Sedangkan, dalam kasus ini, pelakunya adalah swasta, sehingga seharusnya pemerintah tidak perlu ikut campur karena tak ada kepentingan.
"Selama ini pelanggaran HAM itu susah diadili. Kenapa? Karena pelakunya itu rata-rata instrumen negara. Tapi ini pelakunya adalah swasta. Maka negara tidak punya kepentingan. DPR tidak punya kepentingan sebagai pelaku, sebagai temannya pelaku, sebagai kroninya pelaku. Tidak punya kepentingan. Ayo, ini kita dorong. Supaya sejarah kelam dunia sirkus itu tidak segera menjadi tontonan di film. Tapi ini adalah kisah nyata yang harus betul-betul diungkap supaya menjadi pelajaran buat bangsa ini agar kemudian tidak terjadi lagi," pungkas Sholeh.