Kronologi Suap Tiga Hakim Terkait Vonis Lepas Kasus Korupsi

Kejaksaan Agung menangkap hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, tersangka suap dalam persidangan perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). (Foto: Dok. Istimewa)
Fakta.com, Jakarta - Kejaksaan Agung mengungkapkan kronologi kasus suap di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam persidangan perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah periode Januari-April 2022.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar mengatakan kronologi ini terungkap dari hasil pemeriksaan Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) terhadap sejumlah saksi.
Adapun yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap persidangan ini adalah:
1. Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Ketua PN Jaksel, mantan Wakil Ketua PN Jakpus pada saat persidangan perkara korupsi CPO berlangsung.
2. Djuyamto (Dju), Ketua Majelis Hakim perkara korupsi CPO.
3. Ali Muhtarom (AM), hakim ad hoc Anggota Majelis Hakim perkara korupsi CPO.
4. Agam Syarif Baharuddin (ASB), Anggota Majelis Hakim perkara korupsi CPO.
5. Wahyu Gunawan (WG), Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, orang kepercayaan Arif
6. Aryanto, kuasa hukum tiga grup perusahaan sawit.
7. Marcella Santoso, kuasa hukum tiga grup perusahaan sawit.
Tiga grup perusahaan itu adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Kasus suap ini bermula dari kesepakatan antara Aryanto dengan Wahyu Gunawan. Kesepakatan tersebut berupa permintaan putusan lepas (ontslag van alle recht vervolging atau tidak dinyatakan sebagai perbuatan pidana) dengan menyiapkan uang sebanyak Rp20 miliar.
Kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Wahyu kepada Muhammad Arif Nuryanta. Namun, Arif meminta agar uang Rp20 miliar tersebut dikali 3 sehingga totalnya menjadi Rp60 miliar.
Lalu, Wahyu menyampaikan permintaan Arif tersebut kepada Aryanto agar menyiapkan uang sebesar Rp60 miliar. Aryanto pun menyetujui permintaan tersebut .
Setelah itu, Aryanto menyerahkan uang dalam mata uang dollar Amerika Serikat yang nilainya setara dengan Rp60 miliar.
"Kemudian oleh Wahyu Gunawan, uang sejumlah Rp60 miliar ini kita kurs kan ya karena yang diserahkan uang dollar Amerika Serikat, diserahkan kepada Muhammad Arif Nuryanta," tutur Qohar di Gedung Kartika Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari.
Atas jasanya sebagai perantara, Wahyu mendapat US$50 ribu dari Arif.
"Jadi Wahyu Gunawan pun mendapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut," sebut Qohar.
Arif lantas menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto sebagai ketua majelis, Agam selaku anggota majelis, dan Ali sebagai hakim ad hoc.
Kemudian setelah terbit penetapan sidang, Arif memberikan uang kepada Djuyamto dan Agam Syarif Baharuddin dalam dollar Amerika Serikat yang jika dirupiahkan setara dengan Rp4,5 miliar.
Tujuan pemberian uang tersebut adalah untuk uang baca berkas perkara dan agar perkara tersebut diatensi.
Uang Rp4,5 miliar ini kemudian dimasukan ke dalam goodie bag dan dibawa oleh Agam. Uang tersebut kemudian dibagi tiga kepada kepada Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Sendiri.
Pada sekira September atau Oktober 2024, kata Qohar, Arif menyerahkan lagi uang dollar Amerika Serikat yang setara dengan Rp18 miliar kepada Djuyamto.
Djuyamto kemudian membagikan uang tersebut kepada Agam sebesar Rp4,5 miliar, kepada Ali sebanyak Rp6 miliar, dan kepada Djuyamto sendiri sebesar Rp6 miliar.
Dari uang sebesar Rp. 6 miliar yang diterima, Djuyamto memberikan Rp300 juta kepada Wahyu Gunawan.
Konferensi pers Kejagung Ketua PN Jaksel Muhammad penetapan Ketua PN Jaksel tersangka kasus suap
Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta ditetapkan tersangka kasus suap, Jakarta, Sabtu (12/4/2025) malam. (Fakta.com/Hendri Agung)
Pembagian uang tersebut dilakukan di depan depan Bank BRI Pasar Baru, Jakarta Selatan. Keseluruhan uang yang dibagikan adalah dalam mata uang dollar Amerika Serikat.
Qohar mengatakan bahwa para hakim mengetahui maksud dari penerimaan uang tersebut.
"Hakim mengetahui tujuan dari penerimaan uang agar diputus ontslag,” imbuhnya.
Tiga terdakwa grup perusahaan tersebut akhirnya dijatuhi putusan ontslag di PN Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
Saat ditanya soal asal-usul uang Rp60 miliar yang diberikan Aryanto kepada Wahyu yang kemungkinan dari tiga terdakwa korporasi sawit itu, Qohar mengaku masih mendalaminya.
"Inilah yang nanti dalam proses perkembangan, karena ini baru 2 hari," ujar dia.
"Saya minta teman teman bersabar yang pasti seluruh data fakta yang kami peroleh nanti akan kami sampaikan dalam perkembangan perkara ini," sambungnya.
Atas perbuatannya Djuyamto, Agam, dan Ali disangkakan telah melanggar Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 B jo. Pasal 6 Ayat (2) jo. Pasal 18 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian Arif disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 B jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Aryanto dan Marcella disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 13 jo. Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Terakhir, Wahyu disangkakan melanggar pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 18 jo. Pasal 11 jo. Pasal 12 B jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.