MA Berhentikan Sementara Ketua PN Jaksel dan 3 Hakim Tersangka Suap

Juru Bicara MA RI Yanto saat membacakan pernyataan sikap MA RI terkait kasus suap Ketua PN Jaksel di Media Center MA RI, Jakarta Pusat, Senin (14/4/2025). (Fakta.com/Hendri Agung)
Fakta.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA RI) memberhentikan sementara Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan tiga hakim PN Jakarta Pusat serta seorang Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara yang menjadi tersangka kasus suap.
Penetapan status tersangka suap tersebut terkait penanganan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah.
Tersangka dari pihak pengadilan dalam kasus suap ini adalah:
1. Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Ketua PN Jaksel, mantan Wakil Ketua PN Jakpus pada saat persidangan perkara korupsi CPO berlangsung.
2. Djuyamto (Dju), Ketua Majelis Hakim Perkara CPO.
3. Ali Muhtarom (AM), Anggota Majelis Hakim Perkara CPO.
4. Agam Syarif Baharuddin (ASB), Anggota Majelis Hakim Perkara CPO.
5. Wahyu Gunawan (WG), Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, orang kepercayaan Arif.
"Hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan akan diberhentikan sementara," kata Juru Bicara MA RI , Yanto saat membacakan pernyataan sikap MA RI terkait kasus suap di Media Center MA RI, Jakarta Pusat, Senin (14/4/2025).
Ia menyebut proses administrasi pemberhentian sementara ini sedang dilakukan. MA saat ini sedang meminta surat penetapan tersangka dan penahanan dari Kejagung.
Surat inilah yang akan digunakan sebagai lampiran untuk mengusulkan pemberhentian sementara kepada Presiden Prabowo Subianto.
Yanto mengatakan bahwa kelima tersangka ini akan diberhentikan secara tetap apabila sudah ada putusan berkekuatan hukum yang menyatakan mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum.
"Jika telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap akan diberhentikan tetap," ujarnya.
Putusan 3 Grup Perusahaan Sawit
Yanto menyatakan putusan PN Jakarta Pusat terhadap terdakwa tiga grup besar perusahaan sawit berupa putusan lepas (ontslag van alle recht vervolging atau tidak dinyatakan sebagai perbuatan pidana) belum berkekuatan hukum tetap.
Hal tersebut karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan kasasi pada 27 Maret 2025.
"Setelah berkas kasasi lengkap, Pengadilan Tipikor [tindak pidana korupsi] pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan segera mengirimkan berkas kasasi ke Mahkamah Agung secara elektronik," jelas Yanto.
Adapun tiga grup perusahaan tersebut adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Penangkapan dan penahanan yang dilakukan Kejagung terhadap para tersangka itu, kata Yanto, merupakan bagian dari proses hukum yang mesti dihormati.
"Hakim dapat dilakukan tindakan penangkapan dan penahanan atas perintah Jaksa Agung dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung," ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan semua pihak wajib menghormati asas praduga tak bersalah selama proses hukum berlangsung.
Adapun dua orang tersangka lain, yakni Aryanto (Ar) dan Marcella Santoso (MS) selaku kuasa hukum dari tiga grup perusahaan sawit dalam persidangan.
Awal Mula Suap
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkap bahwa suap ini bermula dari kesepakatan antara Aryanto dengan Wahyu untuk mengurus korupsi korporasi tersebut. Panitera ini kemudian menyampaikan pesan tersebut kepada Arif Nuryanta.
Arif menyetujuinya dengan syarat Rp20 miliar per hakim yang menangani perkara, sehingga totalnya Rp60 miliar. Aryanto, yang mendapatkan informasi tersebut dari Wahyu, menyanggupi itu. Dia menyerahkan Rp60 miliar dalam bentuk dolar AS melalui Wahyu.
Atas jasanya sebagai perantara, Wahyu mendapat US$50 ribu dari Arif.
"Jadi Wahyu Gunawan pun mendapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut," kata Qohar saat Konferensi Pers di Gedung Kartika Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari.
Arif lantas menunjuk anggota majelis hakim yang menangani perkara, yang terdiri dari Djuyamto, Agam, dan Ali, dan menyalurkan uang itu.
"Ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut, yaitu agar perkara tersebut diputus ontslag," kata Qohar.
Tiga terdakwa korporasi tersebut akhirnya dijatuhi putusan ontslag di PN Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.














