ICW Kritik Simpati Prabowo ke Keluarga Koruptor: Mereka Justru Kerap Ikut Korupsi

Presiden Prabowo Subianto ketika diwawancarai enam pemimpin redaksi media nasional di Hambalang, Bogor, Minggu (6/4/2025). (Foto: Tangkapan layar Youtube TVRI)
Fakta.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai simpati Presiden Prabowo Subianto terhadap keluarga koruptor yang disita asetnya merupakan bentuk pemakluman terhadap tindakan korupsi dan kejahatan pencucian uang.
Simpati tersebut ia sampaikan ketika diwawancarai enam pemimpin redaksi media nasional di Hambalang, Bogor, Minggu (6/4/2025).
"Simpati yang disampaikan oleh Prabowo patut dipandang sebagai pernyataan kepala negara yang abai terhadap kondisi faktual dan aktual dari perkembangan kejahatan korupsi di Indonesia,” kata peneliti ICW Divisi Korupsi Politik, Yassar Aulia dalam keterangan resminya, Jumat (11/4/2025).
"Dengan adanya respons simpati dari Prabowo, hal ini mengindikasikan bahwa agenda pemberantasan korupsi ke depan akan berlangsung semakin mundur," sambungnya.
Yassar mengatakan korupsi kerap melibatkan keluarga. Berdasarkan hasil pemantauan ICW terhadap tren penindakan kasus korupsi pada 2015-2023, terdapat 46 kasus korupsi yang melibatkan anggota keluarga.
Total tersangka yang ditetapkan oleh penegak hukum ada sebanyak 87 orang. Sebanyak 44 persen atau 39 orang dari total tersangka, Yassar menyebutkan, di antaranya adalah anggota keluarga dari tersangka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Yassar menjelaskan bahwa keluarga koruptor seringkali terlibat langsung sebagai pihak yang juga melakukan korupsi (pelaku aktif), ataupun terlibat secara tidak langsung sebagai pihak penampung atau penikmat hasil korupsi (pelaku pasif).
"Salah satu modus yang dilakukan yakni dengan melakukan pencucian uang untuk mengaburkan asal usul hasil korupsi," tuturnya.
Faktanya, Yassar menjelaskan bahwa pengenaan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga tidak maksimal digunakan oleh penegak hukum.
Berdasarkan catatan ICW terhadap kasus korupsi yang melibatkan keluarga, dari 46 kasus yang diproses, penegak hukum hanya mengenakan UU TPPU terhadap 8 persen atau 4 kasus.
Yassar menegaskan semestinya Prabowo perlu melihat kenyataan di Indonesia bahwa ketidakadilan justru banyak dirasakan oleh korban korupsi ketimbang oleh koruptor dan keluarganya.
Sebagai Presiden yang dengan berapi-api menyatakan perang terhadap korupsi, Yassar mengatakan Prabowo semestinya melihat bahwa korupsi sebagai white-collar crime yang dasar motivasinya adalah akumulasi kekayaan saat ini ditangani dengan sistem hukum yang belum mencerminkan efek jera dan daya cegah.
Tak Sulit Bagi Prabowo Mengesahkan RUU Perampasan Aset
Yassar menjelaskan wacana memiskinkan koruptor sebagai upaya memberikan efek jera telah digagas lebih dari satu dekade lalu.
Menurut Yassar, instrumen hukum untuk memiskinkan koruptor yang perlu diperkuat adalah dengan mengesahkan Rancangan Udang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Namun RUU ini tak kunjung disahkan.
Ia menyebut bahwa tak sulit bagi Prabowo untuk mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk memproses RUU yang telah digagas sejak 2012.
Hal tersebut karena Koalisi Indonesia Maju Prabowo mendominasi kursi di legislatif, yaitu lebih dari 80 persen.
Namun, RUU Perampasan Aset tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025.
"Sebaliknya, RUU Perampasan Aset justru tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025," ujar Yassar.
Lambatnya proses pengesahan RUU Perampasan Aset, kata Yassar, dapat dijadikan momentum oleh para koruptor untuk mengamankan aset yang bersumber dari uang kotor korupsi dan pencucian uang.
Pengamanan aset tersebut dengan cara menempatkan dan menyamarkan aset melalui anggota keluarga. Yassar mengatakan bahwa dalam berbagai kasus korupsi yang telah diungkap penegak hukum, modus tersebut merupakan hal yang umum terjadi.
Selain itu, berdasarkan data tren vonis ICW tahun 2019–2023, rata-rata pengembalian uang pengganti oleh koruptor ke kas negara hanya 13 persen dari total kerugian negara akibat korupsi yang mencapai Rp234,8 triliun.
"Artinya, pemerintah gagal dalam mengembalikan uang negara yang dicuri oleh koruptor," ucap Yassar.
Pada saat ini seharusnya, menurut Yassar, pembahasan penegakan hukum korupsi hanya berfokus pada pengembalian kerugian negara, tetapi juga pemulihan kerugian korban korupsi.
ICW mendesak Prabowo segera mempercepat proses RUU Perampasan Aset.
"Dari pernyataan Prabowo yang keliru terkait pemaafan terhadap keluarga koruptor, maka ICW mendesak agar Presiden Prabowo segera mempercepat proses RUU Perampasan Aset," seru Yassar.
"Hal ini untuk memberikan kejelasan sikap dan tindakan Prabowo terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," sambungnya.
Prabowo: Pemiskinan Keluarga Koruptor Mesti Hati-hati
Saat diwawancarai tujuh jurnalis di Hambalang, Prabowo mengatakan bahwa aset-aset milik koruptor dapat disita oleh negara.
"Jadi, kerugian negara yang dia timbulkan ya harus dikembalikan, makanya aset-aset pantas kalau negara itu menyita," ujar Prabowo dalam siaran TVRI, Senin (7/4/2025).
Namun, ia mengatakan bahwa pemiskinan keluarga koruptor perlu dilakukan hati-hati.
“Kita juga harus adil kepada anak dan istrinya [koruptor]. Kalau ada aset yang sudah milik dia, sebelum dia menjabat, ya nanti para ahli hukum suruh bahas apakah adil anaknya menderita juga gitu? Karena dosa orang tua sebetulnya kan tidak boleh diturunkan ke anaknya,” tandasnya.