TAUD Ungkap Data Kekerasan Aparat di 69 Titik Aksi Tolak RUU TNI

Aksi tolak RUU TNI di Malang, Jawa Timur, Minggu (23/3/2025). (Foto: Tangkapan Layar X @mahasiswamlg)
Fakta.com, Jakarta - Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) yang terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, KontraS, SAFEnet, PBHI, LBH Pers, AJI, dan Amnesty International Indonesia merilis data kekerasan secara nasional yang dilakukan oleh aparat pada aksi tolak Rancangan Undang-Undang TNI beberapa waktu lalu.
Berdasarkan pemantauan TAUD dari 15-20 Maret 2025, setidaknya terdapat 4 kota/kabupaten yang menjadi titik aksi demonstrasi dengan rincian 8 orang ditangkap dan 15 orang mengalami luka-luka.

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) merilis data kekerasan aparat selama aksi tolak RUU TNI. (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
Kemudian, setelah Rancangan Undang-Undang TNI disahkan, pada periode 21-28 Maret 2025, tercatat terdapat 69 titik aksi demonstrasi di mana aksi kekerasan oleh aparat dilakukan di 15 titik, dengan rincian 68 orang mengalami luka-luka dan 153 orang ditangkap oleh aparat.
Selain aksi kekerasan fisik, massa aksi juga mengalami serangan digital. Berdasarkan data dari SAFEnet selama periode 19-27 Maret 2025, terdapat 25 insiden serangan digital yang dilaporkan. Insiden ini termasuk dugaan peretasan massal di Jakarta dan Surabaya kepada massa aksi pada saat demonstrasi di dua kota tersebut.
Selain itu, KontraS juga mengalami serangkaian teror sejak aktivis KontraS merangsek masuk ke Hotel Fairmont tempat diselenggarakannya rapat pembahasan RUU TNI secara tertutup. Beberapa kali, mobil taktis milik TNI melewati kantor KontraS sembari memotret situasi kantor.
Selain kantor KontraS, teror juga dialami oleh salah seorang demonstran di Temanggung, Jawa Tengah. Pada 26 Maret 2025, sehari sebelum terjadinya demonstrasi di Temanggung, salah satu kediaman demonstran didatangi oleh sekelompok intel yang diduga merupakan anggota TNI.
Selain massa aksi, AJI dan LBH Pers mengungkapkan kekerasan juga dialami oleh para jurnalis yang bertugas meliput aksi demonstrasi. Bahkan, setelah aksi demonstrasi berakhir, serangkaian teror diterima oleh jurnalis, salah satunya teror pengiriman kepala babi yang diterima oleh salah satu jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana. Ia juga mengalami serangan digital berupa doxxing di akun Instagram pribadinya.
Anggota Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza, mengatakan deretan kekerasan tersebut dilakukan oleh oknum gabungan dari TNI, Polri, dan Pemda Daerah Khusus Jakarta. Tetapi, aktor dominan pelaku ialah berasal dari unsur TNI dan Polri.
"Ini gabungan, TNI, Polri, dan juga bahkan ada dari Pemda DKI. Nah, terkait berapa jumlah kekerasan yang dilakukan oleh TNI, Polri, itu kami juga belum melakukan pendalaman lebih rinci ke arah sana. Tapi dari data kami itu menunjukkan bahwa aktor dominannya adalah dari institusi kepolisian dan juga dari institusi militer," tutur Yahya di Kantor KontraS, Kramat, Jakarta Pusat, Kamis (10/4/2025).
Yahya pun menyebut pihaknya akan mendorong lembaga dan kementerian terkait untuk melakukan penyelidikan, termasuk penyelidikan terhadap upaya penangkapan massa aksi yang tanpa disertai dengan surat resmi penangkapan.
"Kami pertama akan melakukan dorongan terlebih dahulu ke beberapa lembaga atau kementerian terkait, seperti ke Komnas HAM, lalu juga Komnas Perempuan, lalu Ombudsman dan juga Kompolnas untuk segera aktif dengan melakukan penyelidikan dan juga untuk memberikan semacam pendalaman terhadap peristiwa ini," ujar Yahya.
TAUD juga mendesak DPR untuk segera memanggil Kapolri akibat masifnya deret kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama periode aksi demonstrasi. Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin, mengungkapkan berbagai kekacauan yang terjadi berkaitan dengan ketiadaan fungsi-fungsi kontrol yang dilakukan oleh lembaga-lembaga demokrasi, seperti DPR RI.
"Harusnya terhadap situasi dengan banyaknya jumlah orang yang dipukul, di berbagai wilayah secara masif, harusnya hari ini Kapolri diundang oleh DPR dong. Untuk memastikan kenapa kemudian hak konstitusional yang kemudian tercantum secara jelas dan menjadi hal yang dasar dalam demokrasi itu bisa dinodai dan aparat bisa melakukan sedekimian lupa terhadap warga negara. Tapi ternyata, saya nggak tahu apakah angka ratusan, angka ribuan, itu tidak terlalu cukup banyak bagi DPR RI gitu untuk bicara soal kemanusiaan," tandas Zainal.