Fakta.com

Polri Respons P-19 Kejagung: Pagar Laut Tangerang Bukan Kasus Korupsi

Ilustrasi. Bareskrim Polri menyebut kasus pagar laut Tangerang lebih dominan unsur pemalsuan dokumen. (Fakta.com/Ilham Fadillah)

Ilustrasi. Bareskrim Polri menyebut kasus pagar laut Tangerang lebih dominan unsur pemalsuan dokumen. (Fakta.com/Ilham Fadillah)

Google News Image

FAKTA.COM, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri menyebut kasus Pagar Laut Tangerang bukan merupakan tindak pidana korupsi.

"Posisi kasus tersebut fakta yang dominan adalah pemalsuan dokumen di mana tidak menyebabkan kerugian negara terhadap keuangan negara atau pun perekonomian negara," kata Direktur Tindak Pidana Umum, Brigjen. Pol. Djuhandani Rahardjo Puro Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (10/4/2025).

"Sehingga penyidik berkeyakinan perkara tersebut merupakan bukan merupakan tindak pidana korupsi," sambungnya.

Hal ini dikatakannya terkait keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengembalikan berkas kasus (P-19) pagar laut Tangerang per 25 Maret 2025. Jaksa Penuntut Umum pada Jampidum (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung menilai mestinya kasus korupsinya yang lebih dahulu ditangani.

Setelah penyidikan tuntas, kasus yang ditangani kepolisian akan dilimpahkan ke Kejaksaan sebagai penuntut umum di pengadilan kelak. Jika berkas itu dianggap mesti dilengkapi, Korps Adhyaksa akan mengembalikannya ke Korps Bhayangkara sampai mendapat kelengkapan yang dibutuhkan. 

Dalam kasus pemalsuan dokumen itu, Bareskrim Polri menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen pagar alu Tangerang, yakni Kepala Desa (Kades) Kohod Arsin, Sekertaris Desa Kohod Ujang Karta, serta SP dan CE yang adalah penerima kuasa.

Bareskrim Polri mengirim kembali berkas perkara pemalsuan dokumen pagar laut Tangerang ke Kejagung

Logo Fakta
0:00 / 0:00

Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro, di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (10/4/2025). (Fakta.com/Hendri Agung)

Syarat perkara korupsi

Djuhandhani melanjutkan pihaknya menampik kasus ini adalah tindak pidana korupsi karena sejumlah unsur.

Pertama, menyebabkan kerugian negara. Hal ini menurutnya sesuai dengan ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/ PUU 14-2016 pada 25 Januari 2017.

Jumlah kerugian negara tersebut dikeluarkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) atau Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).

"Tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata," ucap dia. "Mereka (BPK dan BPKP) belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara [di kasus pagar laut Tangerang]."

Kedua, melanggar sejalas jelas Pasal 14 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketiga, kata Djuhandani, ada indikasi suap atau gratifikasi kepada para penyelenggaran negara, yakni Kades Kohod. "[Indikasi itu] saat ini sedang dilakukan penyelidikan oleh Kortas Tipikor Mabes Polri."

Keempat, ada kejahatan atas kekayaan negara berupa pemagaran wilayah laut desa Kohod. Perkara ini, kata dia, sedang diselidiki oleh Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri.

"Dan sudah turun Sprin Sidik (Surat Perintah Penyidikan)-nya," ujar Djuhandani.

Kelima, keberadaan asas hukum 'lex consumen derogat legi consumte'. Artinya, penggunaan aturan berdasarkan fakta-fakta yang dominan dalam sebuah perkara. Sementara, yang menurutnya dominan bukanlah kasus kerugian negara.

"Karena kerugian yang ada saat ini yang didapatkan penyidik adalah kerugian yang [dialami] oleh para nelayan dengan adanya pemagaran itu dan lain sebagainya. Jadi kita masih melihat itu sebagai tindak pidana pemalsuan," papar dia.

Djuhandhani mengatakan bahwa tindak pemalsuan dan penerimaan suap atau gratifikasi merupakan perbuatan pidana yang berbeda.

"Kami menyidik soal pemalsuan. Kalau nanti terjadi gratifikasi atau suap dan lain-lain, pemalsuan ini hanya modusnya dari penyidikan Tipikor (Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri)," imbuhnya.

Berkas perkara pemalsuan dokumen ini, Djuhandani melanjutkan, telah diserahkan lagi ke Kejaksaan Agung.

"Sudah hari ini kita kembalikan [berkas perkara] dengan alasan-alasan yang tadi kami sampaikan," tandasnya.

--

Trending

Update News