Poin-poin Tanggapan Jaksa Tolak Eksepsi Hasto Kristiyanto

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak seluruh eksepsi Hasto Kristiyanto. (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
Fakta.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak seluruh eksepsi yang diajukan oleh terdakwa Hasto Kristiyanto dalam sidang perkara tindak pidana korupsi suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/3).
Dalam sidang tanggapan eksepsi JPU menyampaikan beberapa poin utama yang membantah dalil pembelaan terdakwa, termasuk soal sahnya dakwaan, ketiadaan kerugian keuangan negara, hingga klaim adanya muatan politik dalam kasus ini.
Jaksa juga menegaskan bahwa perkara yang menjerat Hasto harus dilanjutkan ke tahap pembuktian untuk memastikan kejelasan hukum atas dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi yang melibatkan Harun Masiku. Berikut poin-poin tanggapan JPU terhadap eksepsi terdakwa.
Eksepsi Masuk ke Ranah Pra-peradilan
JPU menegaskan bahwa eksepsi Hasto mengenai proses penyidikan hingga penuntutan yang melibatkan banyak penyimpangan dinilai masuk ranah pra-peradilan sehingga berada di luar kewenangan persidangan dan harus ditolak.
“Bahwa materi yang disampaikan oleh terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tersebut sejatinya adalah obyek dalam ranah kewenangan pra-peradilan sebagaimana sudah diatur tersendiri dalam Pasal 77 KUHAP Juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2024 yaitu terkait dengan pra-peradilan. Sehingga sangatlah keliru jika dalil tersebut dimasukkan dalam materi eksepsi,” ujar JPU dalam persidangan.
Dalam pembacaan eksepsi sebelumnya pada Jumat (21/3), kubu Hasto menuding JPU melakukan sejumlah penyimpangan dalam proses penyidikan hingga penuntutan, di antaranya: perkara suap yang telah berkekuatan hukum tetap kembali diusut, sehingga terjadi proses daur ulang perkara. Terdakwa juga ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui proses pemanggilan atau pemeriksaan terlebih dahulu.
Surat perintah penyidikan juga dianggap terdakwa cacat hukum karena diterbitkan oleh pejabat yang tidak memiliki kewenangan. Dalam proses pemeriksaan, saksi-saksi yang berasal dari penyidik atau mantan penyidik KPK dinilai cenderung memberatkan terdakwa, sementara permohonan penasihat hukum untuk menghadirkan ahli yang meringankan tidak diakomodir.
Tindak Pidana Korupsi Tidak Selalu Harus Menimbulkan Kerugian Negara
Dalam eksepsinya, terdakwa menyatakan bahwa perkara ini tidak merugikan keuangan negara sehingga berada di luar kewenangan KPK. Namun, JPU membantah dan menegaskan bahwa perkara Hasto tidak berkaitan dengan kerugian negara, melainkan perkara suap. Oleh sebab itu, JPU berwenang melakukan upaya hukum dari penyelidikan hingga penuntutan.
“Perkara a quo bukanlah perkara yang deliknya terkait dengan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, akan tetapi terkait pasal suap, sehingga tidak berlaku ketentuan huruf b,” kata Jaksa.
Salah Ketik Tidak Membatalkan Dakwaan
JPU juga menanggapi keberatan terdakwa terkait kesalahan administrasi dalam penulisan pasal yang seharusnya Pasal 65 ayat 1 KUHP namun ditulis Pasal 65 ayat 1 KUHAP. Menurut jaksa, kekeliruan dalam bentuk ‘salah ketik’ tersebut tidak mempengaruhi substansi perkara dan tidak menyebabkan batalnya dakwaan.
Mengutip surat edaran Mahkamah Agung, JPU berpendapat bahwa kesalahan tersebut dapat dimaklumi asalkan tidak berpengaruh pada substansi atau materi pokok surat dakwaan.
“Merupakan bagian dari sifat dasar manusia tempat salah dan khilaf sehingga sudah sewajarnya kemudian Mahkamah Agung dalam surat edaranya masih memperbolehkan koreksi surat dakwaan asalkan tidak mengubah substansi dari surat dakwaan tersebut,” ujar Jaksa.
Adapun, JPU juga turut melancarkan serangan balik dengan mengungkit bahwa di dalam dokumen eksepsi tim penasihat hukum Hasto Kristiyanto terdapat banyak kesalahan ketik.
“Penasihat hukum terdakwa dalam menyusun eksepsi aku sebagaimana terbaca dalam nota keberatan atau eksepsi terdapat 20 kata yang salah ketik,” ujar terdakwa sebelum merincikan kesalahan administratif tersebut.
Tak Ada Unsur Politik Dalam Proses Hukum
Menurut jaksa, dalil mengenai adanya unsur politik dalam perkara ini tidak berdasar. Jaksa menegaskan bahwa keberatan tersebut tidak relevan dengan alasan yang dapat dijadikan dasar dalam mengajukan eksepsi.
"Terkait dengan alasan keberatan tersebut, penuntut umum berpendapat materi yang disampaikan penasihat hukum dan Terdakwa tentang hal tersebut di atas adalah tidak benar dan tidak relevan dengan alasan yang diperkenankan untuk mengajukan keberatan atau eksepsi," lanjut jaksa.
Jaksa juga menyatakan bahwa tudingan adanya unsur politik dalam proses hukum ini hanya merupakan asumsi dari pihak terdakwa dan kuasa hukumnya. Ia menegaskan bahwa kasus yang menjerat Hasto semata-mata berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan cukupnya alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
"Melihat pendapat dari Terdakwa tersebut, penuntut umum ingin menegaskan bahwa perkara terdakwa ini adalah murni penegakan hukum, dengan berdasarkan pada kecukupan alat bukti yang sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP," ujarnya.
"Oleh karena itu, dalih penasihat hukum dan Terdakwa tersebut di atas merupakan dalih yang tidak berdasar dan harus ditolak," tambah jaksa.
Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi dan Lanjut ke Tahap Pembuktian
Secara umum, jaksa berpendapat bahwa eksepsi tersebut harus ditolak karena alasan yang diajukan dinilai tidak memiliki dasar yang kuat. “Menolak keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa Hasto Kristiyanto,” pinta Jaksa kepada majelis hakim.
Selian itu, jaksa juga memohon pada hakim untuk menyatakan bahwa surat dakwaan terhadap Hasto Kristiyanto dengan Nomor 14/TUT/.01.04/24/03/2025, yang diterbitkan pada 7 Maret 2025, telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Dan secara hukum surat dakwaan sah untuk dijadikan sebagai dasar pemeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Hasto Kristiyanto," tambah jaksa. Dengan demikian, JPU meminta majelis hakim untuk menolak eksepsi terdakwa dan melanjutkan pemeriksaan perkara ke tahap pembuktian.
Mempertimbangkan libur panjang hari raya Idul Fitri, hakim memutuskan untuk menggelar sidang lanjutan dengan agenda pembacaan putusan sela pada Jumat (11/4/2025).
Putusan Perkara Inkrah Tak Mengikat
Jaksa KPK menegaskan bahwa putusan inkrah dalam kasus Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri tidak mengikat majelis hakim yang menyidangkan perkara Hasto Kristiyanto, terutama jika ditemukan fakta baru dalam penyidikan.
"Putusan perkara...yang telah diputus, tidak mengikat terhadap putusan majelis hakim berikutnya yang menyidangkan perkara ini, apalagi jika dalam tahap penyidikan ditemukan adanya fakta baru," ucap jaksa.
Surat dakwaan, menurut jaksa, telah disusun berdasarkan bukti kuat, termasuk keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan barang bukti, sehingga keterlibatan Hasto harus dibuktikan dalam persidangan.
Jaksa pun menegaskan bahwa majelis hakim tidak terikat pada putusan pengadilan lain, sesuai dengan Putusan MA Nomor 173 K/Kr/1963 serta Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, jaksa meminta majelis hakim menolak eksepsi Hasto. "Berdasarkan uraian tersebut, dalih penasihat hukum terdakwa sudah selayaknya ditolak," ujarnya.