3 Kekerasan Aparat di Demo RUU TNI di Berbagai Kota, Diduga demi Bungkam

Aksi penolakan RUU TNI di Malang, Jawa Timur, Minggu (23/3/2025). Beragam kekerasan dilakukan aparat terhadap demonstran. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
FAKTA.COM, Jakarta - Berbagai bentuk kekerasan diduga dilakukan aparat terhadap massa aksi yang menolak revisi UU TNI di berbagai kota. Simak daftarnya berikut.
Dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Kebebasan Berserikat secara daring, Rabu (26/3/2025), kekerasan aparat itu tak cuma berupa pemukulan brutal dan penangkapan sewenang-wenang. Massa aksi juga menghadapi serangan digital, doxxing, hingga ancaman terhadap jurnalis.
Pola represi ini dikhawatirkan memicu ketakutan massal dan membahayakan demokrasi di Indonesia.
Koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI, AJI, SAFEnet, dan Amnesty International Indonesia, ini menilai pola kekerasan tersebut bentuk intimidasi terstruktur untuk membungkam suara rakyat, bukan sekadar tindakan represif spontan.
"Kalau negara mau menghentikan kekerasan berulang, caranya sederhana: dengarkan," kata Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Nurani Savitri, dalam konferensi pers tersebut.
"Kenapa masyarakat turun ke jalan? Karena mereka menolak revisi UU TNI yang dinilai mengancam demokrasi dan hak sipil. Ini yang harus didengar dan ditindaklanjuti, bukan malah dibungkam," lanjutnya.
Massa demonstran RUU TNI membakar pagar Gedung DPR
Massa demonstran membakar pagar Gedung DPR, Kamis (20/3/2025). (Fakta.com/Hendri Agung)
Nurani juga menyebut bahwa kekerasan aparat dalam menghadapi demonstrasi telah menjadi pola berulang yang tanpa proses hukum.
"Tahun lalu kita mencatat ada lebih dari 500 korban dalam demo serupa, dan tidak ada proses hukum yang jelas. Ini yang membuat kekerasan terus terulang.
Menurut Nurani, akar masalah dari gelombang protes ini adalah pengesahan revisi UU TNI, yang bermasalah baik dari segi proses maupun substansi.
"Sekarang militer turun ke jabatan sipil. Kalau mereka melanggar hukum, apakah masih diadili di pengadilan militer? Revisi ini tidak menjawab itu. Ini yang diprotes oleh masyarakat," cetusnya.
Berikut paparan Koalisi soal bentuk-bentuk kekerasan terhadap penolak RUU TNI itu:
1. Main tangkap dan hajar
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin mengungkap pola baru dalam tindakan kekerasan aparat terhadap massa aksi yang menolak revisi Undang-Undang TNI.
Berdasarkan catatan YLBHI, setidaknya ada 51 wilayah di seluruh Indonesia yang menggelar aksi menolak revisi UU TNI. Dari jumlah tersebut, 10 wilayah di antaranya mencatat terjadinya kekerasan terhadap massa aksi dengan pola kekerasan yang baru.
Zainal mencatat sejumlah represi terhadap demonstrasi itu dilakukan tak hanya oleh polisi, tapi juga tentara.
"Kalau dulu itu orang itu ditangkap kemudian di BAP (Berita Acara Pemeriksaan, Red) yang tidak sesuai dengan KUHAP ya karena kemudian orang main ditangkap aja gitu," ujarnya.

Demo tolak RUU TNI di Gedung DPR berhasil menjebol dua pagar. (Fakta.com/Hendri Agung)
"Tapi hari ini sepertinya massa aksi dihajar habis-habisan; dibawa ke rumah sakit kemudian ditinggalkan atau bahkan kemudian dipukulin secara brutal, juga ditinggalkan. Nah ini menjadi satu hal yang apa namanya cukup mengerikan," lanjut dia.
Zainal menduga pola kekerasan baru ini bukan sekadar penanganan demonstrasi biasa, melainkan bentuk intimidasi otoritas yang bertujuan menakut-nakuti masyarakat sipil agar berhenti bersuara.
"Saya enggak tahu apakah ini semacam sinyal bahwa 'Hei para sipil, militer telah kembali, kalian jangan main-main atau jangan macem-macem,'" ujarnya.
Padahal, kata Zainal, "Negara ini rakyat yang punya 99 persen. Maka itu juga harus ditegaskan bahwa kita juga memiliki veto di mana kemudian kalau ada kebijakan ugal-ugalan kita juga bisa mengatakan tidak!"
2. Serangan digital, doxxing hingga peretasan akun
Aksi penolakan revisi Undang-Undang TNI juga diwarnai dengan gelombang serangan digital yang menyasar massa aksi dan aktivis.
Berdasarkan hasil pemantauan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), setidaknya ada 25 insiden serangan digital tercatat sejak rangkaian aksi dimulai pekan lalu hingga kini.
Peneliti SAFEnet Nenden Sekar Arum mengungkapkan serangan tersebut hadir bersamaan dengan aksi protes di jalanan, menciptakan tekanan ganda bagi massa aksi.
"Berdasarkan hasil monitoring dan juga aduan yang masuk ke kanal aduan SAFEnet, ada 25 insiden serangan digital selama pembahasan dan pengesahan RUU TNI," ujar dia.
Menurut Nenden, bentuk serangan digital yang dialami peserta aksi sangat beragam.
"Kami melihat mulai dari doxxing atau penyebaran informasi data pribadi dengan tujuan intimidasi, kemudian ada pengancaman, peretasan akun Instagram dan WhatsApp, ada beberapa kasus terkait impersonasi, penangguhan akun, dan juga spam chat melalui aplikasi WhatsApp," jelasnya.
SAFEnet juga mencatat bahwa pola serangan digital ini selalu berulang pada momentum politik besar yang melibatkan perlawanan masyarakat sipil.
"Kita perlu ingat ada beberapa aksi serupa dengan peningkatan serangan digital yang sangat signifikan. Misalnya pada aksi peringatan darurat di tahun lalu, kemudian juga tolak Omnibus Law pada tahun 2020-2021, dan beberapa gerakan protes lainnya," paparnya.
Menurutnya, pola serangan digital tersebut selalu sama; intimidasi digital, penciptaan narasi negatif, dan framing atau pembingkaian untuk mendelegitimasi gerakan.
Serangan digital ini pun, kata dia, berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang yang mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia. Salah satunya adalah kemunculan self-censorship di kalangan masyarakat.
"Jika dibiarkan berlarut-larut, ini akan berdampak lebih luas pada bagaimana masyarakat akan merasa takut untuk menyatakan aspirasi dan ekspresinya. Ada self-censorship di situ, yang secara lebih jauh akan berdampak pada proses demokrasi di Indonesia," pungkasnya.
3. Kekerasan pers, pemukulan hingga pelecehan
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen, setidaknya sebanyak 18 jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi menolak RUU TNI di berbagai kota.
"AJI mencatat ada 18 jurnalis dan jurnalis mahasiswa mengalami kekerasan saat meliput aksi. Mereka tersebar di Jakarta, Surabaya, Sukabumi, Malang, dan Bandung," ujar Sekretaris Jenderal AJI Bayu Wardhana.

KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak menyebut para pengkritik RUU TNI dengan istilah "otak-otak kampungan." (dok. TNI AD)
Jenis kekerasan yang dialami para jurnalis beragam. Beberapa di antaranya mengalami pemukulan, diseret paksa saat meliput, bahkan menerima pelecehan seksual secara verbal di tengah kerumunan.
"Kami mendengar laporan jurnalis perempuan yang dihina secara seksual oleh aparat saat mencoba merekam kejadian. Ini modus baru yang berbahaya karena selain fisik, mental mereka juga diteror," tambah Bayu.
AJI mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum agar menindak tegas pelaku kekerasan. "Tanpa efek jera, kekerasan ini akan terus berulang. Jurnalis makin takut meliput, dan ini berbahaya bagi demokrasi serta kebebasan pers," pungkas Bayu.