Hasto Akan Sampaikan Eksepsi atas Dakwaan Kasus Harun Masiku

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto akan membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (21/3/2025)
Fakta.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto akan membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jumat (21/3/2025).
Hasto didakwa memberikan suap dan merintangi penyidikan atau obstruction of justice (OOJ) dalam perkara pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR RI yang melibatkan mantan calon anggota legislatif dari PDIP Harun Masiku.
Pada persidangan perdana pekan lalu, tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto membeberkan sejumlah kejanggalan dalam dakwaan yang dibacakan jaksa KPK.
Dalam sidang yang berlanjut hari ini dengan agenda pembacaan eksepsi, kubu Hasto diperkirakan akan menyoroti kesalahan-kesalahan tersebut sebagai dasar keberatan terhadap dakwaan.
Kesalahan Kutipan Pasal
Febri Diansyah, salah satu pengacara Hasto, mengungkapkan adanya kesalahan mendasar dalam surat dakwaan, khususnya terkait salah kutip pasal hukum. Menurut Febri, JPU mencantumkan Pasal 65 KUHAP dalam dakwaan pertama, padahal seharusnya merujuk pada Pasal 65 KUHP.
"Salah satu pasal yang paling penting yang didakwakan pada dakwaan ke-1 ternyata salah menggunakan undang-undang seharusnya menggunakan pasal 65 KUHP tapi yang ditulis di dakwaan adalah pasal 65 KUHAP meskipun ini hanya satu huruf tapi perbedaan pengaturannya sangat luar biasa," ujar Febri, Jumat (14/3).
Inkonsistensi Dakwaan
Tak hanya soal pasal, mantan juru bicara KPK yang kini membela Hasto itu juga menyoroti perbedaan mencolok dalam uraian fakta dakwaan. Ia membandingkan dakwaan terhadap Wahyu Setiawan dan Hasto Kristiyanto terkait aliran dana Rp400 juta.
"Pada dakwaan Wahyu Setiawan 400 juta itu diberikan oleh Harun Masiku pada Saeful Bahri... Sedangkan pada dakwaan tadi kita dengar itu diubah sedemikian rupa sehingga seolah-olah 400 juta itu berasal dari Pak Hasto. Bagaimana mungkin KPK yang sama lembaga yang sama membuat 2 dakwaan dengan fakta uraian yang berbeda tolak belakang," ujarnya.
Dugaan Bermuatan Politik
Kuasa hukum lainnya, Maqdir Ismail, menilai bahwa proses hukum ini sarat muatan politik. Ia mempertanyakan urutan waktu penetapan tersangka dan pengumpulan bukti terhadap Hasto.
"Perkara ini yang pertama disangkakan... kepada Mas Hasto itu adalah obstruction of justice tapi faktanya ini yang kita bisa perdebatkan... Saya enggak kebayang bagaimana mereka mengumpulkan bukti dalam waktu sekian lama seolah-olah bukti itu disimpan dulu... sepertinya ada kantong ajaib yang mereka gunakan untuk menyimpan bukti-bukti ini," kata Maqdir.
Sidang dengan agenda pembacaan eksepsi hari ini diharapkan menjadi panggung bagi tim hukum Hasto untuk memperkuat argumen bahwa dakwaan JPU cacat formil dan materil.
Dakwaan JPU
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan perdana, Jumat (14/3), Hasto Kristiyanto didakwa terlibat dalam dua tindak pidana: suap dan perintangan penyidikan (obstruction of justice).
Dakwaan pertama menjelaskan bahwa antara Desember 2019 hingga Juni 2024, Hasto diduga secara aktif menghambat penyidikan terhadap kasus suap yang melibatkan Harun Masiku dan Wahyu Setiawan, anggota KPU RI periode 2017-2022.
Hasto dituduh memerintahkan satpam PDIP Nurhasan agar Harun Masiku merendam telepon genggamnya ke dalam air, segera setelah Wahyu Setiawan tertangkap tangan oleh KPK pada 8 Januari 2020.
Jaksa merinci, "Terdakwa melalui Nurhasan memberikan perintah kepada Harun Masiku agar merendam telepon genggam miliknya kedalam air dan memerintahkan Harun Masiku untuk menunggu (standby) di Kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh Petugas KPK".
Lebih lanjut, dakwaan mengungkap bahwa Hasto juga memerintahkan Kusnadi, staf kepercayaannya, untuk menenggelamkan telepon genggam miliknya sebagai langkah antisipasi agar data dan komunikasi yang bisa menjadi bukti dihilangkan.
"Pada tanggal 06 Juni 2024, terdakwa memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggamnya sebagai antisipasi upaya paksa oleh Penyidik KPK. Menindaklanjuti perintah Terdakwa tersebut Kusnadi melaksanakannya".
Selain upaya menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap sebesar SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan. Uang ini dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan KPU agar menyetujui pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari Dapil Sumatera Selatan 1, menggantikan Riezky Aprilia dengan Harun Masiku.
Jaksa menjelaskan, "Bahwa terdakwa Hasto Kristiyanto bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku (DPO) telah memberi uang sejumlah SGD 57,350.00 atau setara Rp600.000.000,00 kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu kepada Wahyu Setiawan selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) periode tahun 2017–2022".
Jaksa menegaskan perbuatan Hasto termasuk dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Dakwaan menutup dengan menegaskan bahwa tindakan Hasto "telah dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku yang mengakibatkan penyidikan atas nama Tersangka Harun Masiku terhambat”.