ICW Sebut RUU TNI Langgengkan Impunitas Tentara Terjerat Korupsi

Tiga oknum TNI terdakwa kasus penembakan bos rental Tangerang, di Jakarta, Senin (10/3/2025). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
Fakta.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Rancangan Undang-Undang TNI hanya akan melanggengkan impunitas atau kebal hukuman bagi tentara yang terjerat perkara korupsi.
Kasus korupsi di tubuh militer jarang mendapat sorotan luas, tetapi dampaknya terhadap keuangan negara sangat besar. ICW mencatat sepanjang 2014-2025, setidaknya ada delapan kasus korupsi yang melibatkan 15 personel militer, baik aktif maupun purnawirawan.
Meski jumlahnya kecil, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp24,76 triliun—setara dengan 50 persen dari total kerugian negara akibat vonis korupsi pada 2022 yang melibatkan lebih dari 2.000 terdakwa.
Namun, persoalan tidak hanya berhenti di besarnya kerugian negara. Penanganan kasus-kasus korupsi militer kerap diwarnai impunitas dan tebang pilih.
Menurut ICW, dari 15 tersangka anggota militer, lima di antaranya kasusnya dihentikan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, termasuk dalam kasus pengadaan helikopter AgustaWestland (AW)-101. Ironisnya, pelaku sipil dalam kasus yang sama justru divonis 10 tahun penjara.
Selain itu, ICW juga menilai pengadilan militer lebih lunak dibandingkan pengadilan tindak pidana korupsi.
"Rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan sipil terhadap anggota militer mencapai 16 tahun penjara, sedangkan pengadilan militer hanya sekitar 9 tahun," catat peneliti ICW, Egi Primayogha dalam rilis tertulis pada Rabu (19/3/2025).
Kasus terbaru, vonis ringan terhadap Kepala Basarnas Henri Alfiandi—hanya dua tahun enam bulan. Menurut ICW, kasus ini makin memperkuat dugaan bahwa proses hukum terhadap anggota TNI masih penuh dengan keistimewaan.
ICW Tolak RUU TNI
ICW secara tegas menolak pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Lembaga non-pemerintah ini menilai revisi UU TNI berpotensi memperburuk impunitas anggota militer, terutama dalam kasus korupsi, serta membuka ruang politik transaksional demi kepentingan elite.
ICW mengkritik keras proses revisi yang dilakukan secara tertutup dan tidak partisipatif.
"Pembahasan aturan yang tertutup dan tidak partisipatif, selain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, juga akan membuka ruang adanya politik transaksional untuk kepentingan elite demi meloloskan aturan yang bermasalah," kata Egi.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, ICW melihat bahwa revisi UU TNI tidak memberikan solusi untuk meningkatkan transparansi dan penegakan hukum di lingkungan militer.
Sebaliknya, revisi ini dikhawatirkan justru semakin memperkokoh impunitas bagi anggota militer yang terlibat korupsi.
"Alih-alih membuat anggota militer profesional, munculnya revisi UU TNI malah akan membuka ruang konflik kepentingan dan impunitas terhadap anggota militer yang terjerat kasus korupsi," tulis Egi.
Untuk itu, ICW mendesak agar DPR menghentikan pembahasan revisi UU TNI dan memastikan bahwa setiap anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana, termasuk korupsi, dapat diproses secara transparan dan adil.
Selain itu, ICW juga menegaskan bahwa anggota militer aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil guna mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
"Anggota militer aktif harus kembali ke barak dan tidak boleh menempati jabatan sipil agar tidak ada konflik kepentingan dan melanggengkan impunitas," kata Egi dalam keterangan tertulisnya.