TAUD Bela Pedemo RUU TNI: Pemerintah dan DPR Melanggar Konstitusi

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menilai DPR dan pemerintah melakukan pelanggaran hukum. (Fakta.com/Hendri Agung)
Fakta.com, Jakarta - Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menilai Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah melakukan pelanggaran hukum karena menyusun Revisi Undang-Undang TNI secara sembunyi-sembunyi dan tertutup.
Hal ini menanggapi pemidanaan dua aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menggeruduk rapat tertutup pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta pada Sabtu (15/3/2025).
Mereka dijerat dengan dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum dan atau perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan dan atau penghinaan terhadap penguasa.
"Kita garis bawahi, bukankah justru yang melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi adalah DPR dan juga pemerintah" kata Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana yang juga tergabung dalam TAUD di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Selesa (18/3/2025).
Arif mengatakan rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TNI yang dilaksanakan di Hotel Fairmont bersifat tidak partisipatif dan tidak demokratis. Panja tersebut terdiri dari Komisi I DPR dan pemerintah.
Arif merasa heran lantaran justru yang terjadi adalah pelaporan warga sipil, yakni Kepala Divisi Hukum Kontras Andrie Yunus dan Javier Maramba Pandin dari Imparsial. TAUD merupakan kuasa hukum keduanya.
Pihak keamanan Hotel Fairmont, Rio Yanuar Reza, adalah orang yang melaporkan Andrie dan Javier ke Polda Metro Jaya.
Menurut Arif, sebagai warga negara, Andrie dan Javier berhak untuk mengawasi proses legislasi yang dinilai menyimpang dari proses pembentukan perundang-undangan.
“Bahkan dugaannya sembunyi-sembunyi dan memperkuat agenda mengembalikan dwifungsi ABRI yang berbahaya bagi masa depan masyarakat,” katanya.
Aksi protes dan kritik yang dilakukan Javier dan Andrie, ujar Arif, dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM) dan Kovenan Hak Sipil dan Politik.
"Kritik bukan tindak pidana, bukan kejahatan. Dan itu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Siapapun, bukan hanya kedua klien kami, tapi itu hak warga negara," ujar Arif.
Kemudian, Arif juga mempertanyakan legal standing pelapor, yakni Rio selaku pihak keamanan Hotel Fairmont. Ia menyebut laporan yang dibuat Rio bisa jadi mewakili pihak lain, yaitu DPR dan Pemerintah.
"Dia (Rio) melaporkan kedua klien kami dalam kapasitas atau legal standing, mewakili siapa? Apakah mewakili Hotel Fairmont? Atau mewakili pihak yang lain? Pemerintah atau DPR? Ini harus clear. Karena tidak semua pasal yang kemudian dikenakan, yang sebegitu banyaknya, ini pasalnya berlapis, itu bisa dilaporkan oleh setiap orang. Kami mempertanyakan legal standing dari pelapor," tutur Arif.
Selain itu, kata Arif, laporan yang dibuat Rio juga tidak berdasar. Fakta di lapangan tidak ada aksi perusakan, fitnah, dan ancaman yang dilakukan Javier dan Andrie dalam penyampaian ekspresi politiknya saat menggeruduk rapat RUU TNI.
Pasal-pasal pidana dalam laporan itu, menurut Arif, tidak relavan dengan fakta yang ada.
"Kami mleihat pasal yang dikenakan ada pasal 172, 212, 217, 335, sampai 503 dan 207, ini tidak relevan, tidak sesuai dengan fakta. Maka dari itu, kami menduga ini dicari-cari, ini bentuk upaya kriminalisasi terhadap keduanya (Andrie dan Javier)", ujar Arif
Arif mengatakan TAUD sedang mempertimbangkan untuk menempuh upaya hukum, yakni melaporkan pihak Hotel Fairmont. TAUD sedang mengkaji apakah laporan nanti dalam bentuk laporan perdata atau pidana.
Upaya hukum ini terkait dengan apakah ada atau tidaknya pemberian fasilitas rapat tertutup yang dilakukan oleh Hotel Fairmont.
"Kami mengkaji apakah upaya hukum ini dalam ranah hukum perdata, terkait dengan tindakan perbuatan pelawan hukum, dengan dugaan memfasilitasi persidangan tertutup, sembunyi-sembunyi dalam proses penyusunan legislasi, atau mungkin upaya hukum administratif, bahkan jika kemudian ada dugaan tidak pidana, kita mungkin akan menempuhnya," tutup Arif
Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Andrie Yunus dan Javier Maramba Pandin menolak untuk menghadiri panggilan klarifikasi dari Polda Metro Jaya.
Undangan klarifikasi ini terkait aksi geruduk keduanya di tengah rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang Undang (RUU TNI) yang dihadiri anggota Komisi I DPR RI dan Pemerintah di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025).
Andrie dan Javier diagendakan memenuhi panggilan klarifikasi di Direktorat Reserse Krimimal Umum (Ditreskrimum) pada Selasa (18/3/2025). Penolakan klarifikasi ini dilakukan Tim kuasa Hukum Andrie dan Javier, yaitu Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD).
Kedua klien kami tidak hadir memenuhi undangan klarifikasi dari Polda Metro Jaya," kata Arif Maulana, di Ditreskrimum Polda Metro, Selasa (18/3/2025).
"Jadi, kenapa kemudian kami tidak hadir? Karena memang ini tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku," sambungnya.
Arif mengatakan bahwa undangan klarifikasi tersebut tidak patut. Klarifikasi, kata Arif, tidak dikenal dalam Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Klarifikasi tidak dikenal dalam hukum acara pidana kita, dalam proses penegakan hukum, khususnya pidana. Kita harus merujuk dan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di mana undangan klarifikasi tidak dikenal," ujar Arif.