Kejahatan Luar Biasa Kapolres Ngada & Desakan Evaluasi Total Polri

Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja mengenakan baju tahanan, Kamis (13/3/2025). (Fakta.com/Hendri Agung)
Fakta.com, Jakarta - Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja terhadap anak di bawah umur.
Fajar kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak pada Kamis (13/3/2024). Ia pun telah ditahan di Bareskrim Polri.
Dirreskrimum Polda NTT Kombes Pol. Patar Silalahi mengatakan pihaknya melakukan penyelidikan terhadap kasus ini setelah menerima laporan dari Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri mengenai dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Kupang oleh anggota kepolisian.
"Divisi Hubungan Internasional (Mabes Polri) pada tanggal 22 Januari 2025 yang diteruskan ke Polda NTT dan dilakukan penyelidikan dugaan kasus asusila seksual tersebut," kata Patar dalam konperensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (13/3/2025).
Penyidik Dirkrimum Polda NTT, kata Patar, mulai melakukan rangkaian penyelidikan di Hotel Kristal yang bertempat di Kota Kupang pada 23 Januari. Penyidik menggali informasi beberapa staf hotel tersebut, mengunpulkan alat bukti dan memeriksa 9 orang saksi.
"Dengan menggali informasi dari beberapa staf hotel Kristal serta pengecekan terhadap data hotel yang tertanggal 11 Juni 2024," ujar Patar.
Dari penyelidikan tersebut menunjukkan bahwa Fajar melakukan kekerasan seksual pada 11 Juni 2024.
Patar menyebut kejadian tersebut berdasarkan petunjuk CCTV dan dokumen registrasi resepsionis. Pemesanan hotel dilakukan dengan menggunakan fotokopi surat izin mengemudi (SIM).
Barang bukti yang ditemukan, Patar melanjutkan, yaitu baju dress anak bermotif love pink, surat berupa visum, dan compact disc (CD) berisi video kekerasan seksual sebanyak 8 video.

Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja (kanan). (ANTARA/HO/Instagram-@mediapolresngada)
Atas perbuatannya, Fajar dijerat dengan sejumlah pasal berlapis, di antaranya Pasal 6 huruf C, Pasal 12, Pasal 14 ayat 1 huruf A dan B, serta Pasal 15 ayat 1 huruf E, G, J, dan L UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Selain itu, ia juga dijerat Pasal 45 ayat 1 junto Pasal 27 ayat 1 UU ITE No. 1 Tahun 2024. Ancaman hukuman maksimal mencapai 15 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Pada konferensi pers yang sama, Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan korban kekerasan sesual Fajar sebanyak empat orang. Tiga merupakan anak dan seorang dewasa.
Ketiga anak tersebut masing-masing berusia 6, 13, dan 16 tahun. Adapun seorang dewasa yang berinisial SDHR berusia 20 tahun.
Truno juga menyebut Fajar diduga melakukan pelanggaran kode etik kepolisian. Oleh karenanya, kata Truno, Polri akan melakukan proses sidang kode etik Polri dan Pidana.
"Polri dalam hal ini telah melakukan tindakan tegas terhadap FWLS eks Kapolres Ngada melalui proses kode etik bersamaan atau simultan dengan tindak pidananya," ujar Truno.
Karowatprof Propam Polri, Brigjen Agus Wijayanto, mengatakan Fajar terbukti mengonsumsi narkotika. Agus mengatakan pihaknya telah melakukan serangkaian tes narkotika terhadap Fajar.
Tes ini meliputi tes darah, urine, dan rambut. "Sudah terbukti dengan tes darah, urine dan rambut. Ada penggunaan narkotika," imbuh Agus.
Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa Fajar mengonsumsi narkotika jenis amfetamin dan metafetamin.
Agus menyebut bahwa Fajar akan menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada Senin (17/3/2025).
"Divisi Propam Polri akan melaksanakan sidang kode etik terhadap terduga pelanggar direncanakan hari Senin tanggal 17 Karet 2025," tutur Agus
Truno juga menyebut bahwa Polri masih mendalami perihal apakah betul Fajar mengunggah aksi bejatnya di situs porno di Australia atau tidak.
Selain itu, Polri juga mendalami apakah Fajar melakukan monetisasi atau mendapat keuntungan berupa uang dari hasil mengunggah video porno tersebut.
"Untuk membuktikan bahwa apakah [Fajar] mendapatkan suatu finansial, tentu proses ini masih berlanjut," kata Truno.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Polri mendalami mengenai monetisasi yang dilakukan Fajar.
"Ini ya, selalu ditanyakan juga ke saya, apakah unsur lain kalau monetisasi ya kita menyebutnya, like, share, and subscribe. Ini ditemukan dalam situs porno ini, tentu saya sependapat, perlu didalami lebih lanjut," kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah.
Menurut Maryati telah terjadi kemanfaatan seksualitas maupun ekonomi bila mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Khususnya, soal eksploitasi ekonomi.
"Nah, ini yang harus didalami secara serius, sehingga kalau itu betul-betul menjadi temuan dari apa yang dikembangkan kepolisian, saya kira ini juga bentuk eksploitasi lain," kata Ai.
Bahkan, kata Ai, unsur eksploitasi itu juga bisa masuk dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Apalagi, sudah mememenuhi tiga unsur, yakni proses, cara, dan tujuannya.
"Kalau tujuannya adalah mengeksploitasi dari konten pornografi dengan anak, misalnya, dan untuk mendapatkan keuntungan, ini jelas bentuk dari eksploitasi seksual dan ekonomi yang berbarengan dilakukan," katanya
Kejahatan Serius
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) sekaligus Wakil Ketua Advokasi YLBHI, Arif Maulana, mengatakan bahwa pelaku dalam kasus ini justru dilakukan oleh aktor negara atau aparat penegak hukum yang seharusnya mereka menjadi penegak hukum, pelindung, dan pengayom masyarakat.
"[Aparat penegak hukum] tapi justru melakukan kejahatan serius. Jadu saya kira ini bukan hal biasa," kata Arif saat dihubungi Fakta.com, Jumat (13/3/2025)
Arif juga menyatakan kejahatan Fajar juga terindikasi masuk kategori pidana tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tindak pidana ini, kata Arif, masuk kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Menurutnya, TPPO disebut kejahatan luar biasa karena melibatkan jaringan transnasional, eksploitasi manusia, dan pelanggaran hak asasi manusia.
"Ini memang dikategorikan bukan tindak pidana biasa," ujar Arif.
Arif juga menyebut bahwa terdapat masalah serius dalam tubuh Polri. Ia mengatakan bahwa sistem pengawasan internal maupun eksternal Polri terbilang buruk.
Dari segi internal, Arif menyebut Divisi Propam Mabes Polri dan Pimpinan Polri semestinya memberikan sanksi yang memberikan efek jera kepada polisi yang melakukan tindakan pidana. Seringkali sanksi yang dikenakan sekadar sanksi etik.
"Kalaupun sanksi hanya sekadar sanksi etik, tidak ada sanksi pidana," imbuhnya.
Arif memberikan beberapa contoh terkait polisi yang melakukan tindakan pidana, namun hanya mendapat sanksi etik.
"Contoh Brigadir Jenderal Napoleon Bonaparte yang terbukti melakukan korupsi tapi justru kemudian kembali ke institusi Polri. Kemudian jenderal yang membantu Sambo untuk obstruction of justice pembunuhan Brigadir saat itu katanya dikenakan sanksi demosi etik tapi tidak dikenakan Pidana. Beberapa bulan lalu naik pangkat juga, justru promosi," tuturnya.
Arif juga menyoroti betapa bermasalahnya sistem rekrutmen dan meritokrasi di Polri. Korupsi, kolusi dan nepotisme bukan merupakan hal rahasia dalam proses rekrutmen untuk menjadi polisi.
"Ini sudah rahasia umum. Tidak jarang kita mendengar atau mendapat informasi bahwa untuk menjadi polisi butuh KKN," kata Arif.
Arif menyebut hal yang sama juga terjadi dalam promosi jabatan atau meritokrasi kepolisian.
"Ada setoran ke atasan, harus punya relasi ekonomi-politik dan lain sebagainya. Akhirnya yang naik jabatan itu ya polisi-polisi yang memang tidak punya catatan integritas dan rekam jejak yang baik," ujarnya.
Dari segi eksternal, Arif mengatakan bahwa Kompolnas sebetulnya tidak melakukan pengawasan eksternal terhadap Polri. Kewenangan Kompolnas sekadar memberikan saran.
Ia menyebut bahwa Kompolnas bukanlah lembaga pengawas independen.
"Dia itu [Kompolnas] bagian dari pemeritah. Dan kalau bekerja harus bersama-sama dengan kepolisian. Jadi bukan lembaga pengawas yang independen. Bukan lembaga pengawas yang bisa memberikan sanksi," ucap Arif.
Saat ini Polri, kata Arif, memiliki kewenangan besar, tetapi tidak ada yang dapat mengontrol dirinya kecuali dirinya sendiri. Kewenangan besar Polri tanpa akuntabilitas dan transparasi sama dengan adanya ruang penyalahgunaan dan kesewenang-kewenangan.
Untuk membenahi masalah besar yang ada di tubuh Polri, Arif menyebut Presiden sebagai atasan langsung dari kepolisian mesti melakukan intervensi untuk membenahi Polri secara besar-besaran.
Selain itu, DPR juga harus melakukan evaluasi sistemik terhadap Polri, bukan evaluasi yang bersifat kasuistis. "Yang kita butuhkan bukan hanya evaluasi kasuistis, kasus sudah terlalu banyak, tapi evaluasi sistemik dari DPR RI," tutr Arif
Langkah terdekat yang bisa diambil, menurut Arif, adalah melakukan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memperkuat pengawasan kepolisian. Selain itu, melakukan revisi undang-undang kepolisian untuk membatasi dan mengevaluasi besar-besaran kewenangan kepolisian, termasuk kewenangan mengenai anggarannya.
Masyarakat, ujar Arif, disuguhi setiap hari oleh kebusukan kepolisian dengan berbagai kejahatan yang dilakukan oleh anggota Polri sendiri. Masyarakat semakin tidak puas dengan kepolisian.
"Yang menjadi korban adalah masyarakat luas," ujarnya
Arif juga mengutip data dari Komnas HAM untuk menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir lembaga yang paling banyak dilaporkan diduga melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah Polri. Selain itu, Ia juga mengutip data dan Ombudsman RI yang menunjukkan bahwa lembaga yang paling banyak melakukan maladministrasi adalah kepolisian.