Fakta-Fakta Sidang Tom Lembong: Isi Dakwaan hingga Nota Keberatan

Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025). (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
Fakta.com, Jakarta - Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, telah menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025). Ia didakwa terlibat dalam penyalahgunaan kewenangan dalam impor gula periode 2015-2016 yang disebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp515,4 miliar.
Meskipun tidak disebut memperkaya diri sendiri, jaksa menegaskan bahwa tindakan Lembong menguntungkan sejumlah pihak. Sementara itu, tim kuasa hukumnya mengajukan eksepsi, menyatakan dakwaan jaksa cacat hukum, dan meminta perkara ini tidak diadili di ranah pidana.
Sidang akan berlanjut besok Selasa (11/3/2025) dengan agenda tanggapan dari jaksa terhadap eksepsi terdakwa.
Dakwaan Jaksa
Jaksa mendakwa Tom Lembong telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam kegiatan impor gula yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Perbuatan tersebut dilakukan bersama sepuluh terdakwa lainnya yang dituntut dalam berkas terpisah.
Para terdakwa lain dalam kasus ini adalah Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) Charles Sitorus, Direktur Utama PT Angels Products Tony Wijaya NG, Direktur PT Makassar Tene Then Surianto Eka Prasetyo, Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya Hansen Setiawan.
Ada pula Direktur Utama PT Medan Sugar Industry Indra Suryaningrat, Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama Eka Sapanca, Presiden Direktur PT Andalan Furnindo Wisnu Hendraningrat, Direktur PT Duta Sugar International Hendrogiarto A. Tiwow, Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur Hans Falita Hutama, dan Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas Ali Sandjaja Boedidarmo.
Dugaan Penyalahgunaan Kewenangan
Dalam dakwaan, jaksa menyebut Tom Lembong menerbitkan surat pengakuan impor atau persetujuan impor Gula Kristal Merah (GKM) periode 2015-2016 kepada sepuluh pihak luar, kini berstatus terdakwa, tanpa melalui rapat koordinasi antarkementerian. Selain itu, surat pengakuan impor tersebut diberikan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Tom Lembong juga diduga memberikan surat pengakuan sebagai importir produsen GKM atau persetujuan impor GKM kepada para terdakwa lain untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP), padahal perusahaan penerima surat tersebut tidak berhak mengolah GKM menjadi GKP karena berlatar belakang usaha gula rafinasi.
Pada 2015, Tom Lembong memberikan surat pengakuan sebagai importir produsen GKM kepada Tony Wijaya NG melalui PT Angels Products untuk diolah menjadi GKP, meskipun produksi dalam negeri GKP saat itu sudah mencukupi dan realisasi impor GKM terjadi pada musim giling.
Selain itu, ia tidak menunjuk perusahaan BUMN untuk mengendalikan ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan menunjuk Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPPOL), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (PUSKOPOL), dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI-Polri.
Tom Lembong juga memberikan penugasan kepada PT PPI (Persero) untuk melakukan pengadaan GKP dengan bekerja sama dengan produsen gula rafinasi, meskipun sebelumnya para terdakwa telah menyepakati pengaturan harga jual gula dari produsen kepada PT PPI dan dari PT PPI kepada distributor di atas Harga Patokan Petani (HPP).
Terakhir, Tom Lembong tidak melakukan pengendalian atas distribusi gula dalam rangka pembentukan stok gula dan stabilisasi harga yang seharusnya dilakukan oleh BUMN melalui operasi pasar dan/atau pasar murah.
Kerugian Negara, Perkaya Pihak Lain
Meskipun tak disebut memperkaya diri sendiri, jaksa menegaskan bahwa tindakan Tom Lembong telah memperkaya sejumlah pihak, termasuk Tony Wijaya NG sebesar Rp 144,1 miliar, Then Surianto Eka Prasetyo Rp 31,1 miliar, Hansen Setiawan Rp 36,8 miliar, Indra Suryaningrat Rp 64,5 miliar, Eka Sapanca Rp 26,1 miliar, Wisnu Hendraningrat Rp 42,8 miliar, Hendrogiarto A. Tiwow Rp 41,2 miliar, Hans Falita Hutama Rp 74,5 miliar, Ali Sandjaja Boedidarmo Rp 47,8 miliar, dan Ramakrishna Prasad Venkatesha Murthy Rp 5,9 miliar.
Berdasarkan Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI tanggal 20 Januari 2025, jaksa menyebut negara mengalami kerugian sebesar Rp 515,4 miliar.
"Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp515.408.740.970,36 yang merupakan bagian dari kerugian keuangan negara sebesar Rp 578.105.411.622,47," ungkap jaksa Sigit Sambodo.
Jerat Pasal
Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor mengatur ancaman pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara dapat dikenai pidana seumur hidup atau pidana minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun, dengan denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Majelis Hakim pada sidang pembacaan dakwaan Tom Lembong di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/3/2025). (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
Eksepsi dan Pembelaan Kuasa Hukum
Menanggapi dakwaan tersebut, kuasa hukum Tom Lembong yang dipimpin oleh Ari Yusuf Amir langsung membacakan eksepsi atau nota keberatan di persidangan pada hari yang sama. Mereka menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak sah dan meminta majelis hakim untuk menolaknya.
Tim kuasa hukum berpendapat bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini karena kasus ini terkait dengan kebijakan pangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Selain itu, tim kuasa hukum melihat adanya error in persona dalam dakwaan sehingga dinilai cacat hukum karena menetapkan Tom Lembong sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab atas tindakan sembilan perusahaan bersama PT PPI.
Mereka juga mempersoalkan dasar perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh JPU, yang bersumber dari BPKP, padahal BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan 2015-2017 menyatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus ini.
Kuasa hukum juga menegaskan bahwa keputusan Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan merupakan tindakan administratif yang telah ditembuskan ke instansi terkait, sehingga seharusnya diperiksa dalam ranah hukum administrasi, bukan pidana.
Agenda Sidang Selanjutnya
Berdasarkan argumen tersebut, tim kuasa hukum meminta majelis hakim untuk menerima dan mengabulkan eksepsi mereka secara keseluruhan, menyatakan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tidak berwenang menangani perkara ini, serta menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum karena tidak jelas dan tidak lengkap.
Selain itu, mereka juga meminta agar majelis hakim memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan setelah putusan sela dibacakan, memerintahkan rehabilitasi nama baik terdakwa, dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Majelis hakim kemudian memutuskan persidangan akan dilanjutkan pada Selasa (11/3/2025) dengan agenda tanggapan dari JPU terhadap eksepsi yang diajukan oleh tim kuasa hukum Tom Lembong.
“Kesempatan penuntut umum mengajukan pendapat atas eksepsi yang disampaikan oleh tim penasihat hukum. Terdakwa tetap dalam tahanan. Sidang ini selesai dan ditutup,” ujar Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika.