Liga Korupsi Indonesia: 10 Perkara Mengguncang Keuangan Negara

Kejaksaan Agung menampilkan uang sitaan hasil korupsi. (Fakta.com/Hendri Agung)
Fakta.com, Jakarta - Masyarakat punya cara sendiri untuk merespons maraknya pengungkapan kasus-kasus megakorupsi di Indonesia. Sindiran ‘Liga Korupsi Indonesia’ dibuat sebagai kritik atas sejumlah skandal besar yang merugikan keuangan negara dengan angka fantastis.
Berikut ini adalah sepuluh kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar yang mengungkapkan betapa dalamnya jaringan korupsi merusak tatanan ekonomi dan sosial negara.
1. Korupsi Timah Rp300 Triliun
Korupsi yang terjadi di PT Timah Tbk. mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun akibat penyalahgunaan pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan tersebut pada 2015–2022.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, seperti dilansir Antara, menyatakan kerugian ini terbukti dalam persidangan, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kerugian negara tersebut terdiri dari Rp2,28 triliun akibat penyewaan alat pengolahan timah yang tidak sesuai ketentuan, Rp26,65 triliun dari pembayaran bijih timah ilegal, dan Rp271,07 triliun akibat kerusakan lingkungan.

Terdakwa kasus timah Harvey Moeis di sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/8/2024). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym)
Sejumlah individu dan korporasi menerima aliran dana dari hasil korupsi ini, termasuk pejabat pemerintah dan direktur perusahaan.
Beberapa terdakwa dijatuhi hukuman penjara dan denda, seperti Harvey Moeis yang divonis enam tahun enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar, Helena Lim dijatuhi vonis 5 tahun penjara dan denda Rp750 juta.
Sementara Mochtar Riza Pahlevi Tabrani divonis 8 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Suparta dijatuhi hukuman delapan tahun penjara serta uang pengganti Rp4,57 triliun, dan Reza Andriansyah divonis lima tahun penjara dan denda Rp750 juta.
Di tingkat banding, hukuman para terdakwa diperberat, yakni Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara, Helena menjadi 10 tahun, Mochtar menjadi 20 tahun, Suparta menjadi 19 tahun, dan Reza menjadi 10 tahun.
2. Korupsi Pertamina Rp193,7 Triliun
Korupsi di lingkungan Pertamina terungkap melalui dugaan manipulasi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang, yang melibatkan Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Korupsi yang berlangsung pada 2018-2023 ini berpotensi merugikan keuangan negara lebih dari Rp193,7 triliun. Kejaksaan Agung menyebut jumlah itu merupakan kerugian negara pada 2023 saja.

Edward Corne, VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, tersangka korupsi minyak mentah, Jakarta, Rabu (26/2/2025). (Foto: dok. Kejagung)
Dalam skandal ini, produksi kilang dalam negeri diduga sengaja diturunkan dan minyak mentah dalam negeri ditolak dengan alasan spesifikasi yang tidak sesuai, sehingga harus diekspor.
Akibatnya, Pertamina terpaksa mengimpor minyak mentah dan produk kilang dengan harga lebih tinggi, yang berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan subsidi dari APBN.
Selain itu, pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang dilakukan secara ilegal melalui broker, menyebabkan harga impor menjadi jauh lebih mahal dibandingkan produksi dalam negeri.

Maya Kusmaya, Direktur Pusat Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, tersangka korupsi minyak mentah, Jakarta, Rabu (26/2/2025). (Foto: dok. Kejagung)
Hal ini mempengaruhi harga indeks pasar (HIP) BBM, yang menjadi dasar perhitungan subsidi dan kompensasi dari pemerintah.
Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka, termasuk para eksekutif di PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan PT Pertamina International Shipping, serta pemilik dan komisaris perusahaan broker yang terlibat dalam skandal ini.
3. Korupsi BLBI Rp138,4 Triliun
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI adalah program bantuan dari Bank Indonesia kepada sejumlah bank yang mengalami krisis likuiditas akibat krisis moneter 1997-1998. Pemerintah menggelontorkan dana sekitar Rp144,5 triliun kepada 48 bank, tetapi dalam prosesnya, banyak dana yang diselewengkan oleh pemilik bank penerima bantuan.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melansir Antara, menemukan bahwa sekitar Rp138,4 triliun dari dana tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun, menurut Menko Polhukam Mahfud MD, perhitungan terbaru menunjukkan bahwa total kerugian negara akibat BLBI mencapai Rp109–110 triliun, dan pemerintah masih menghitung jumlah yang realistis untuk ditagih kembali

Ilustrasi aset BLBI. (Foto: Dokumen Kemenkeu)
Kasus BLBI berlarut-larut selama beberapa dekade, dengan berbagai upaya penegakan hukum yang kerap menemui kendala, mulai dari kesepakatan kontroversial di era Presiden Megawati hingga kebijakan penyelesaian melalui Satgas BLBI di masa Presiden Jokowi.
Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan pada Juli 2019 bahwa kasus ini tidak memiliki unsur pidana, dan upaya KPK untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) juga ditolak pada 2020, sehingga proses hukum pidana dianggap berakhir.
4. Korupsi Duta Palma 104,1 Triliun
Kasus korupsi Duta Palma melibatkan PT Duta Palma Group, perusahaan kelapa sawit yang diduga melakukan perampasan lahan negara secara ilegal seluas 37.095 hektare di Riau selama 2003-2022. Kerugian negara mencapai Rp104,1 triliun.
Angka tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan BPKP, yang terdiri dari kerugian keuangan negara sebesar Rp4,9 triliun dan kerugian perekenomian negara senilai Rp99,2 triliun.
Kasus ini menyeret Surya Darmadi, pemilik Duta Palma Group, yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Ia didakwa menyuap pejabat daerah untuk memperoleh izin usaha secara melawan hukum.
Surya Darmadi akhirnya ditangkap setelah sebelumnya berstatus buron dan sempat menghilang ke luar negeri. Dalam persidangan, jaksa menuntutnya dengan hukuman penjara seumur hidup serta denda triliunan rupiah sebagai bentuk pengembalian kerugian negara.
5. Korupsi TPPI Rp35 Triliun
Kasus korupsi PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI) yang melibatkan mantan Direktur Utama Honggo Wendratno, mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, dan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, merugikan keuangan negara sebesar US$2,7 miliar atau setara Rp35 triliun, dalam penunjukan kondensat bagian negara.
Honggo, yang saat ini masih buron, dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, serta diharuskan membayar uang pengganti sebesar 128 juta dolar AS.
Kasus ini berawal dari permohonan Honggo kepada BP Migas untuk mendapatkan kondensat sebagai bahan baku produksi BBM, meskipun PT TPPI dalam keadaan kesulitan keuangan dan tidak aktif berproduksi.
Penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara dilakukan secara tidak sah, tanpa melalui lelang terbatas dan tanpa prosedur yang benar, serta tanpa jaminan pembayaran. Akibatnya, kondensat yang seharusnya diolah menjadi produk BBM yang dibutuhkan PT Pertamina malah dijual ke pihak lain.
Selama periode 2009 hingga 2011, sebanyak 33 juta barel kondensat diserahkan kepada Honggo dengan nilai US$2,7 miliar. Raden Priyono dan Djoko juga dituntut 12 tahun penjara atas keterlibatan mereka dalam penyelewengan tersebut.
6. Korupsi Asabri Rp22,7 Triliun
Kasus korupsi di PT Asabri (Persero), melansir Antara, melibatkan dugaan pengelolaan keuangan dan dana investasi yang merugikan negara hingga Rp22,78 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan hasil investigasi terkait kerugian negara dalam perkara ini kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 27 Mei 2021.
Sebelumnya, perhitungan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp23,73 triliun, namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, angka tersebut disesuaikan menjadi Rp22,78 triliun.
Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini, termasuk mantan direktur utama Asabri dan sejumlah pejabat serta pihak swasta yang diduga terlibat dalam pengelolaan investasi yang tidak sah dan merugikan negara.
Tindak pidana korupsi ini melibatkan perbuatan melawan hukum oleh pihak-pihak terkait yang menyebabkan kerugian negara. Beberapa tersangka, seperti Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, juga terlibat dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan telah dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kejagung terus mengusut kasus ini, dengan berkas perkara tujuh tersangka sudah diserahkan kepada jaksa penuntut umum pada 28 Mei 2021.
7. Korupsi Ekspor CPO Rp20 Triliun
Kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya, melansir Antara, melibatkan kerugian negara mencapai Rp20 triliun.
Kerugian tersebut terdiri dari kerugian keuangan sebesar Rp6 triliun, kerugian perekonomian sekitar Rp12 triliun, dan pendapatan ilegal (illegal gains) sekitar Rp2 triliun. Perhitungan kerugian negara ini dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), penyidik Jampidsus, serta ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dalam kasus ini, penyidik telah menetapkan lima tersangka, termasuk pejabat pemerintah dan pihak swasta. Salah satu tersangka dari unsur pemerintah adalah Indrasari Wisnu Wardhana, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan.
Empat tersangka lainnya berasal dari sektor swasta, termasuk pejabat PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group, PT Musim Mas, dan PT Independent Research & Advisory Indonesia.
8. Korupsi Jiwasraya Rp16,8 Triliun
Korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), seperti dilansir Antara, merugikan keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun, dengan enam terdakwa yang terlibat dalam pengelolaan dana dan investasi antara 2008 hingga 2018.
Para terdakwa, yang terdiri dari pejabat PT Jiwasraya dan pengusaha, didakwa melakukan tindakan yang tidak transparan dan tidak akuntabel dalam pengelolaan investasi saham dan reksa dana, seperti melakukan transaksi saham yang melampaui ketentuan, mengintervensi harga saham, serta mengendalikan manajer investasi yang menghasilkan produk reksa dana merugikan perusahaan.

Korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) merugikan keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun. (Foto: Dok. Jiwasraya)
Selain itu, para terdakwa juga didakwa melakukan transaksi pembelian dan penjualan instrumen keuangan yang tidak menguntungkan dan tidak memenuhi kebutuhan likuiditas perusahaan.
Mereka turut menerima uang, saham, dan fasilitas terkait dengan kerja sama investasi ilegal ini, yang menyebabkan kerugian besar bagi negara dan mengabaikan pedoman investasi yang telah ditetapkan.
9. Korupsi Pesawat Garuda Rp8,8 Triliun
Korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia, melansir Antara, mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp8,8 triliun, yang terkait dengan pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600.
Kerugian ini disebabkan oleh pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan BUMN dan penerapan prinsip business judgment rule yang salah, sehingga menyebabkan kinerja pesawat merugi saat dioperasikan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Direktur Utama Garuda Indonesia periode 2004-2014, Emirsyah Satar, dan Direktur Mugi Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo, sebagai tersangka baru dalam kasus ini.

Korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia. (Foto: Dokumen Garuda Indonesia)
Meski demikian, penahanan terhadap keduanya tidak dilakukan karena mereka tengah menjalani hukuman terkait kasus lain yang juga melibatkan Garuda Indonesia dan ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni Setijo Awibowo dan Agus Wahjudo, yang juga terlibat dalam kasus ini. Kasus korupsi ini melibatkan pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda, yang menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan BUMN tersebut.
10. Korupsi Proyek BTS Kominfo Rp8,32 Triliun
Korupsi dalam proyek pengadaan tower BTS 4G oleh BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika, dilansir dari Antara, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp8,32 triliun, menurut hasil audit yang diserahkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kepada Jaksa Agung.
Kerugian tersebut terdiri dari biaya penyusunan kajian pendukung, mark-up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.

Ilustrasi menara BTS. (Foto: dok dct Total Solutions)
BPKP melakukan perhitungan ini setelah diminta oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus pada 31 Oktober 2022 untuk memberikan bantuan keterangan ahli dalam kasus ini, yang mencakup penyediaan infrastruktur BTS dan pendukungnya dari tahun 2020 hingga 2022.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan bahwa meskipun lima orang tersangka telah ditetapkan, penyidikan akan terus berlanjut jika ditemukan bukti baru, dan potensi tersangka lainnya akan digali lebih lanjut.
Tiga tersangka telah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan, yaitu Anang Achmad Latif, Galubang Menak, dan Yohan Suryanto. Sedangkan dua tersangka lainnya, Mukti Ali dan Irwan Hermawan, masih dalam proses pemberkasan.