Korupsi LPEI: 5 Tersangka, 'Uang Zakat' dan Negara Rugi Rp11,7 Triliun

KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). (Fakta.com/Riezky Maulana)
Fakta.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Dalam kasus ini, LPEI memberikan kredit kepada 11 debitur, dengan potensi kerugian negara berjumlah Rp11,7 triliun.
Keputusan ini diumumkan dalam konferensi pers yang digelar di Gedung KPK pada Senin (3/3/2025) dan disampaikan oleh penyidik KPK, Budi Sokmo.
Berdasarkan keputusan pimpinan KPK No. 308 tanggal 20 Februari 2025 dan surat perintah penyidikan No. 08 tanggal 20 Februari 2025, KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yaitu: DW – Direktur Pelaksana LPEI, AS – Direktur Pelaksana LPEI, GM – Pemilik PT, Petro Energi, NN – Direktur Utama PT Petro Energi, SMD – Direktur Keuangan PT Petro Energi.
Kelima tersangka diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran hukum terkait pencairan kredit yang tidak memenuhi standar kelayakan dan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Modus Operandi Korupsi
Penyelidikan KPK terhadap LPEI telah berlangsung sejak Maret 2024 dan mencakup 11 debitur yang menerima fasilitas kredit. Dari penyelidikan tersebut, ditemukan bahwa total kerugian negara akibat kredit bermasalah ini mencapai Rp11,7 triliun.
PT Petro Energi sendiri menerima kredit sejak Oktober 2015 dengan total pinjaman mencapai USD 60 juta (sekitar Rp900 miliar), yang dicairkan dalam tiga tahap: pertama, 2 Oktober 2015 sebesar Rp297 miliar; kedua, 19 Februari 2016 sebanyak Rp400 miliar; ketiga, 14 September 2017 senilai Rp200 miliar.
Sejumlah pelanggaran yang ditemukan dalam kasus ini antara lain: pemberian kredit tidak layak di mana Direksi LPEI tetap mencairkan kredit meskipun mengetahui bahwa current ratio PT Petro Energi hanya 0,86, menunjukkan kondisi keuangan yang tidak sehat. Selanjutnya, tidak adanya inspeksi agunan di mana LPEI tidak melakukan pemeriksaan terhadap jaminan atau agunan yang diajukan PTPE.
“Sebenarnya PTPE tidak berhak mendapatkan top-up sebesar Rp400 miliar dan Rp200 miliar setelah pengucuran yang pertama (Rp297 miliar). Namun ini tidak diindahkan oleh para direktur yang mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap dikeluarkan kredit tersebut,” jelas Budi.
Selain itu ada juga pemalsuan kontrak di mana PT Petro Energi mengajukan kontrak palsu sebagai dasar pengajuan kredit, yang tetap disetujui oleh LPEI meskipun telah ada peringatan dari analis keuangan internal.
“Kontrak-kontrak inilah yang dijadikan dasar ketika PTPE ini mengajukan kredit kepada LPEI. Hal ini diketahui juga oleh direksi dari LPEI karena mereka tidak melakukan pengecekan,” ujar Budi.
Budi juga menyatakan seluruh purchase order atau invoice tagihan yang digunakan PTPE untuk mencairkankredit juga palsu. “Ini adalah semua palsu, semua sudah terkonfirmasi dari saksi-saksi maupun dokumen-dokumen yang kita temukan,” katanya.
Pelanggaran lain adalah penyalahgunaan dana di mana kredit yang seharusnya digunakan untuk bisnis bahan bakar solar ternyata dialihkan untuk investasi ke sektor lain.
“PTPE sendiri di dalam proposal untuk memperoleh kredit itu untuk bisnis bahan bakar solar. Namun faktanya mereka melakukan side streaming…malah digunakan untuk berinvestasi ke usaha yang lain,” ujar Budi.
Terakhir, perilaku koruptif lain yang terungkap dalam kasus ini adalah gratifikasi kepada Direksi LPEI. KPK menemukan adanya skema “uang zakat” sebesar 2,5 persen hingga 5 persen dari nilai kredit yang diberikan kepada para pejabat LPEI sebagai suap untuk mempermudah pencairan pinjaman.
“Dari keterangan yang kami peroleh dari para saksi, menyatakan bahwa memang ada namanya 'uang zakat' ya yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut,” kata Budi.
“Ini sesuai dengan keterangan dari saksi-saksi yang telah kita terima. Dan ini juga didukung dengan BBE (barang bukti elektronik) maupun hasil asset tracing yang kita dapatkan,” sambungnya.
Langkah Hukum dan Pemulihan Kerugian Negara
KPK telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung total kerugian negara akibat kasus ini. Saat ini, jumlah yang dapat dipastikan mencapai USD 60 juta hanya dari kredit PT Petro Energi. Penyelidikan terhadap 10 debitur lainnya masih berlangsung, dan KPK berjanji akan mengungkap lebih lanjut jika ditemukan pelanggaran serupa.
Dalam hal pemulihan aset, KPK menargetkan pengembalian dana sebesar Rp900 miliar dari PT Petro Energi guna meminimalkan dampak kerugian terhadap keuangan negara.
“Terkait aset recovery untuk khususnya dari PTPE, sejauh ini memang secara perhitungan belum bisa mencapai, namun kami yakin itu akan mencapai, USD 60 juta itu akan tercover semua,” ujar Budi.
Kasus LPEI juga tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Polri, yang memiliki kewenangan dalam penyelidikan debitur lain di luar PT Petro Energi. KPK menyatakan telah berkoordinasi dengan kedua institusi tersebut untuk memastikan tidak adanya tumpang tindih dalam proses hukum yang sedang berjalan.
Terkait penangan kasus ini Budi mengatakan, “KPK sudah menerima sebelas ini, ya sebelas ini tentunya debiturnya untuk kita sidik di KPK juga. Sedangkan di Kepolisian dan Kejaksaan tentunya debiturnya lain, untuk debiturnya sendiri-sendiri, sedangkan untuk para kreditornya nanti akan kita koordinasikan lebih lanjut bagaimana proses penuntutannya.”