Solar Subsidi Dijual Jadi Nonsubsidi di Kolaka Rugikan Negara Rp105,2 miliar

Bareskrim Polri mengungkap penyalahgunaan penjualan BBM subsidi jenis solar B35 di Kolaka, Sulawesi Tenggara. (Fakta.com/Hendr Agung)
Fakta.com, Jakarta - Bareskrim Polri mengungkap penyalahgunaan penjualan bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis solar B35 di wilayah Kolaka, Sulawesi Tenggara. Estimasi kerugian negara akibat penimbunan ini mencapai sekitar Rp105,2 miliar.
"Terhadap temuan tersebut telah dilakukan penyelidikan berupa dugaan tindak pidana setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan atau niaga bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan atau liquefied petroleum gas dan atau penyediaan dan pendistribusiannya diberikan penugasan pemerintah," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim, Brigjen Pol. Nunung Syaiffudin di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (3/3/2025).
Nunung menjelaskan BBM solar subsidi dari terminal bahan bakar PT Pertamina Patra Niaga Region 7 Makassar seharusnya didistribusikan ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN), dan agen penyaluran minyak dan solar (APMS) di Poleang Tenggara, Kolaka.
Namun, BBM solar bersubsidi ini, ujar Nunung, dimasukkan ke truk tangki yang biasanya digunakan untuk memuat solar untuk industri. Kemudian BBM ini dikirim ke tempat penimbunan. Penyedia dan pemilik truk tangki ini adalah seorang berinisial T.
Nunung menyebut tempat penimbunan BBM solar bersubsidi ini berlokasi di gudang penimbunan ilegal yang beralamat di Lorong Teppoe, Kelurahan Balandete, Kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka. Gudang ini dikelola oleh seorang berinisial BK.
Lalu BBM bersubsidi ini dijual dengan harga non-subsidi kepada para penambang dan kapal tongkang. Tempat penjualan ini salah satunya berada di SPBN milik seorang berinisial A. SPBN ini bertempat di Kecamatan Kuleng, Kabupaten Bumbana, Sulawesi Tenggara
"Kemudian dijual lagi dengan harga solar industri atau non-subsidi kepada penambang yang melakukan kegiatan penambangan dan juga kepada kapal tugboat," tutur Nunung.
Selain itu, ia juga menduga ada keterlibatan T selaku penyedia armada atau pemilik truk tangki dan seorang oknum Pegawai PT Pertamina Patra Niaga.
"Oknum Pegawai PT PPN atau Pertamina Patra Niaga yang diduga memberikan perbantuan untuk melakukan penebusan kepada PT Pertamina untuk BBM jenis solar," ucapnya.
Nunung menjelaskan bahwa BBM solar bersubsidi ialah Rp6.800 dan non bersibsidi Rp19.300. Selisih dari keduanya adalah Rp12.550.
Nunung menceritakan modus dari penyalahgunaan BBM bersubsidi ini. Ia menyebut pemilik SPBU atau SPBN menggunakan ID khusus yang terkoneksi dengan MyPertamina untuk menebus BBM subsidi dari PT Pertamina Patra Niaga. BBM tersebut kemudian diangkut oleh PT IP atau PT Elnusa, yang memiliki kontrak transportasi dengan PT BPN.
Dalam penyaluran BBM ke SPBUN yang telah menebusnya, truk tangki merah milik PT IP seharusnya menggunakan sistem GPS agar pergerakannya dapat dipantau secara real-time oleh monitoring center PT IP.
Namun, kata dia, ditemukan pengelabuan sistem dengan cara mematikan GPS selama 2 jam 27 menit saat truk tangki merah mendekati gudang penimbunan ilegal di Kolaka.
"Selama GPS dimatikan, diduga terjadi pemindahan BBM subsidi dari truk tangki merah ke truk tangki biru yang kemudian dijual kembali dengan harga non-subsidi," ungkap Nunung.
Selain itu, ia juga menemukan fakta bahwa beberapa truk tangki pengangkut BBM subsidi di bawah pengelolaan PT IP sama sekali tidak dipasangi GPS. Dengan melepas perangkat GPS, truk tangki bebas beroperasi di luar sistem pemantauan, sehingga lebih mudah melakukan pengalihan BBM ke pihak yang tidak berhak.
Nunung memperkirakan kerugian negara akibat penyalahgunaan BBM Solar tersebut dalam kurun waktu dua tahun. Keuntungan setiap bulan yang diraup dari penjualan ini berkisar Rp.4,3 miliar. Akumulasi keuntungan selama dua tahun yakni sekitar Rp.105,4 miliar.
"Kita berhitung lagi, kalau 1 bulannya Rp4.392.000.000, kalau 2 tahun ya lebih kurang Rp105.420.000.000," ujar Nunung
Selain itu, Nunung menjelaskan bahwa BBM yang berhasil disita saat itu sebanyak 10.957 liter karena merupakan BBM hasil sisa.
Empat pelaku dalam kasus ini, yakni A, BK, T, dan seorang oknum dari PT Pertamina Patra Niaga diancam dengan Pasal 40 Ayat 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja, serta perubahan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Mereka terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 60 miliar.
Nunung mengatakan Bareskrim Polri terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan penyalahgunaan distribusi solar bersubsidi ini. Hingga saat ini, 8 orang telah diperiksa terkait kasus ini, termasuk tiga saksi dari pihak PT Pertamina Patra Niaga.
“Dari pihak Pertamina sudah ada tiga, yang dari pihak ini ada lima. Ya, nanti akan kita dalami lagi untuk bisa mengarah kepada orang-orang yang diduga kuat menjadi tersangka,” kata Nunung.
Selain itu, Nunung mengaku belum bisa mengungkap bagaimana pelaku membagi hasil keuntungan tersebut karena mereka belum diperiksa.
“Para pelakunya belum kita periksa, jadi kita belum tahu hasilnya,” ujar Nunung.