Korupsi ASDP: Kerugian Negara Rp893 Miliar, 3 Eks Direktur Ditahan

KPK menahan tiga mantan direktur PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Kamis (13/2/2025). (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
Fakta.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tiga mantan direktur PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Kamis (13/2/2025). Mereka telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2012.
Tiga tersangka KPK itu adalah Ira Puspadewi (Direktur Utama PT ASDP 2017-2024), Harry Muhammad Adhi Caksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP 2020-2024), dan Muhammad Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP 2019-2024). Mereka ditahan selama 20 hari ke depan hingga 4 Maret 2025 di Rumah Tahanan Klas I Jakarta Timur, Cabang Rutan KPK.
Satu tersangka lainnya, pemilik PT Jembatan Nusantara Group, Adjie, belum ditahan KPK.
Selain penahanan, KPK juga menelusuri dugaan aliran dana suap balik (kickback) dan kemungkinan keterlibatan pejabat Kementerian BUMN dalam skema akuisisi yang merugikan keuangan negara hingga Rp893,160 miliar.
Kronologi Perkara
Kasus ini bermula pada 2014 ketika pemilik PT JN menawarkan akuisisi perusahaannya kepada PT ASDP. Saat itu, Dewan Direksi dan Komisaris PT ASDP menolak dengan alasan kapal-kapal PT JN sudah tua dan tidak layak untuk diakuisisi.
Namun, pada 2018, setelah Ira Puspadewi diangkat sebagai Direktur Utama, penawaran tersebut kembali diajukan. Beberapa pertemuan informal antara pemilik PT JN dengan direksi ASDP dilakukan. Mereka membahas rencana akuisisi.
Pada 2019, PT JN kembali menawarkan secara resmi untuk diakuisisi oleh ASDP. Sebagai langkah awal, kedua perusahaan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dan menjalin kerja sama usaha dari 2019 hingga 2022. Kerja sama ini diduga bertujuan untuk meningkatkan performa keuangan PT JN agar terlihat layak diakuisisi.
Pada 2020, ASDP memasukkan akuisisi ini dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2020-2024, meskipun sebelumnya tidak tercantum dalam RJPP 2019-2023. Akuisisi akhirnya disetujui setelah terjadi pergantian Dewan Komisaris yang sebelumnya menolak rencana tersebut.
Dalam proses penilaian aset, tim akuisisi ASDP menggunakan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) MBPRU untuk melakukan valuasi harga 53 kapal milik PT JN.
Namun, KPK menemukan rekayasa dalam penilaian tersebut agar sesuai dengan angka yang telah disepakati sebelumnya antara direksi ASDP dan pemilik PT JN. Harga akuisisi akhirnya disepakati sebesar Rp1,272 triliun, terdiri dari Rp892 miliar untuk saham PT JN dan Rp380 miliar untuk kapal-kapal milik afiliasi PT JN.
Atas perhitungan yang dilakukan oleh KPK, maka transaksi akuisisi PT JN oleh PT ASDP terindikasi menimbulkan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 893,160 miliar.
Potensi Kerugian Negara Lebih Besar
Selain kerugian negara tersebut, KPK menyebut angka tersebut bisa bertambah. “Itu belum final lah ya, saya belum menambahkan terkait dengan biaya-biaya lainnya,” ujar pelaksana harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, (13/2).
Budi mengungkapkan bahwa sebelum akuisisi, Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) telah memperkirakan bahwa perawatan 53 kapal yang diakuisisi akan membutuhkan dana sekitar Rp500 miliar.
Selain itu, akuisisi ini tidak dilakukan dengan dana internal ASDP, melainkan menggunakan pinjaman dari bank, yang berarti ASDP juga harus menanggung pokok pinjaman serta bunga dalam jangka panjang. Jika akuisisi tidak dilakukan, beban utang ini tidak akan muncul dalam neraca keuangan ASDP.
“Nah, ini (biaya perawatan kapal) belum kita masukkan, kemudian belum lagi utang yang harus dibalikkan oleh PT ASDP, karena karena dalam akuisisi ini, bukan pakai uang ASDP, namun menggunakan pinjaman dari bank,” ujanya.
“Bentuknya kan harus ada pokok yang dikembalikan, dan ini kan juga sebagai beban dari PT ASDP, sebagai kerugian keuangan negara nantinya, karena apabila tidak dilakukan akuisisi, hal ini juga tidak akan menjadi beban dari PT ASDP,” Budi menambahkan.
Suap Balik & Dugaan Keterlibatan Pejabat Kementerian BUMN
KPK meyakini adanya suap balik (kickback) dalam perkara ini. Berdasarkan temuan awal, terdapat indikasi bahwa sejumlah uang telah mengalir dalam transaksi yang tidak sesuai dengan standar bisnis yang berlaku.
“Secara symptom-nya atau petunjuk-petunjuknya kita meyakini (kickback) ada, karena memang dari aliran sekian uang itu memang kita temukan ada kejanggalan-kejanggalan transaksi yang memang tidak dilakukan sewajarnya transaksi,” jelas Budi.
Tim penyidik KPK bersama unit audit forensik dan analis transaksi keuangan sedang menelusuri lebih jauh aliran dana tersebut untuk mengidentifikasi penerima manfaat utama.
“Kami sudah ada beberapa petunjuk-petunjuk dan perlu kita klarifikasi, dan perlu kita perkuat dengan alat bukti, sehingga nanti bisa dinyatakan bahwa itu memang kickback yang dari proses akuisisi tersebut,” Budi menambahkan.
Selain itu, KPK juga mendalami kemungkinan keterlibatan Kementerian BUMN dalam proses akuisisi ini. Mengingat ASDP berada di bawah naungan Kementerian BUMN, penyidik sedang mempelajari apakah ada indikasi persetujuan dari pejabat kementerian yang menyimpang dari prosedur standar dan apakah ada keuntungan yang didapatkan oleh pihak tertentu dari kementerian dalam transaksi ini.
“Kemudian yang kedua tentang, apakah ada yang ke atas, terkait dengan Kementerian BUMN. Sama, tentunya tadi ada suatu hal yang perlu harus dimintakan sementara pemberitahuan dari atas untuk menyetujui proses tersebut,” jelas Budi.
“Kita harus mempelajari secara benar apakah persetujuan ini memang ada tanda kutipnya atau memang sudah sesuai dengan prosedur…ini sedang kita terus pelajari,” tambahnya.