Deret Dugaan Pidana dalam Perkara Pagar Laut Tangerang

Pagar laut dari bambu yang dipasang di pesisir Kabupaten Tangerang menuai kontroversi. (Foto: Antara)
Fakta.com, Jakarta - Pagar laut dari bambu yang dipasang di pesisir Kabupaten Tangerang menuai kontroversi. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menyebut terdapat sejumlah unsur pidana dalam kasus ini, termasuk dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dan pelanggaran berbagai undang-undang terkait kelautan dan lingkungan hidup.
Dugaan Tindak Pidana dan Pasal yang Dilanggar
Menurut Ficar, kasus ini melibatkan dugaan tipikor oleh pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas laut.
Sertifikat tersebut seharusnya tidak bisa diterbitkan karena laut bukan merupakan objek hak kepemilikan individu atau korporasi. Selain itu, aparat pemerintah, termasuk lurah dan pejabat terkait, diduga terlibat dalam penerbitan sertifikat tersebut.
Selain tipikor, terdapat sejumlah pelanggaran pidana lainnya. Pertama, UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam Pasal 61 disebutkan bahwa siapa pun yang mengadakan kegiatan tanpa izin yang mengganggu pelayaran dan akses nelayan mendapatkan ancaman pidana 3 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.
Kedua, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dalam Pasal 57 ayat 2 jo. Pasal 72 ayat 2 dikatakan bahwa pihak yang menghambat jalur pelayaran dan akses nelayan akan dijerat dengan pidana 3 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.
Ketiga, UU No. 31 Tahun 2014 jo. UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan yang memberikan ancaman pidana tiga tahun penjara dengan denda Rp3 miliar.
Keempat, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 98 disebutkan bahwa siapa pun yang dengan sengaja mencemarkan atau merusak lingkungan hidup akan diancam dengan pidana 10 tahun penjara dan denda 10 miliar. Sedangkan kelalaian yang menyebabkan kerusakan lingkungan akan dijerat dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda 3 miliar.
Kelima, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dapat memberikan sanksi administrasi dan hukuman pidana hingga 10 tahun.
Terakhir, menurut Ficar, terdapat Pasal 106 KUHP yang berisi ancaman terhadap tindakan makar atau melawan negara, termasuk menjual negara kepada pihak asing dengan ancaman pidana seumur hidup atau 20 tahun.

Nelayan dan prajurit TNI AL membongkar pagar laut yang terbuat dari bambu di perairan Kabupaten Tangerang.
Ficar menekankan bukti utama dalam kasus ini adalah sertifikat yang diterbitkan di atas laut, yang dapat dikategorikan sebagai "sertifikat bodong" karena salah objek (error in objecto).
Selain itu, pagar laut yang telah dipasang dan dokumentasi transaksi keuangan yang mencurigakan dapat menjadi bukti tambahan.
Konflik Kepentingan Kepolisian
Ficar menyebut sejumlah pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini antara lain: pegawai BPN yang menerbitkan SHGB dan SHM; para direktur perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat; lurah dan pegawai negeri yang membantu penerbitan sertifikat; pelaku pemasangan pagar laut; pegawai BPN dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diduga menerima suap.
Hingga saat ini, kepolisian belum menetapkan tersangka. Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri masih melakukan penyelidikan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Dugaan terjadinya tindak pidana pemalsuan surat dan atau menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik dan atau penyalahgunaan wewenang dan atau tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP dan atau Pasal 266 KUHP dan atau Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terkait penerbitan 263 sertifikat hak guna bangunan dan 17 sertifikat hak milik yang terjadi di Desa Kohod Kecamatan Pakuhaji Kabupaten Tangerang,” demikian dikutip dalam rilis Dittipidum Bareskrim Polri, Jumat (31/1/2025).
Menurut Ficar, ada konflik kepentingan dalam tubuh kepolisian. Salah satu indikasi yang mencuat adalah adanya sumbangan gedung Polsek Kosambi oleh pengembang PIK 2. Secara yuridis, hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk suap yang menghambat proses penegakan hukum.
Ficar menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan harus turun tangan untuk mengusut kasus ini secara independen dan menghindari potensi intervensi dari kepolisian yang memiliki konflik kepentingan dengan pihak pengembang.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan seharusnya polisi bertindak untuk mengusut kasus ini karena adanya unsur penipuan.
"Mengeluarkan sertifikat, pertama, itu laut, berarti nipu. Yang kedua, itu laut, tidak boleh disertifikatkan. Kan gitu. Nah, oleh sebab itu ini yang harus bergerak siapa? Kalau itu penipuan atau penggelapan, itu polisi,” kata Mahfud dikutip dalam rekaman video yang diunggah di akun Instagram @prof.mahfud, Kamis (30/1/2025).
Namun Mahfud melanjutkan bahwa polemik pemagaran ilegal di pesisir Tangerang ini tidak hanya menjadi domain polisi karena adanya unsur kolusi dan korupsi sehingga pihaknya mengimbau KPK untuk turun tangan.
“Tapi ini bukan hanya polisi, karena ini juga diduga kolusi. Bermain dengan pejabat itu artinya kan kolusi. Kalau kolusi itu pasti ada uangnya yang diberikan. Kenapa diduga bermain dengan pejabat? Karena bisa keluar sertifikat resmi. Bukan hanya satu. Tapi ini 263. Masih ada lagi di berbagai daerah lain,” Mahfud menjelaskan.
Menurut Mahfud, tiga institusi—Polri, Kejaksaan, dan KPK—memiliki kewenangan untuk mengusut kasus ini. Namun, ketiganya tampaknya masih saling menunggu tindakan satu sama lain.
"Ini kayanya bukan berebutan, (tapi) saling menahan ini. Karena belum ada yang mengusut. Saling takut kayanya," ujarnya.
Upaya Masyarakat Mencari Keadilan
Masyarakat tidak tinggal diam dalam merespons perampasan hak atas perairan bangsa Indonesia di pesisir Tangerang. Tercatat ada sejumlah pihak yang mewakili masyarakat sipil melaporkan pelanggaran hukum tersebut kepada sejumlah institusi penegak hukum di Indonesia.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman melaporkan dugaan korupsi dalam kasus pagar laut ke Kejaksaan Agung pada Kamis, (30/1). Ia meyakini bahwa terbitnya sertifikat di atas laut itu tidak sah mengingat pada tahun 2023 tidak ada daratan yang eksis di dalamnya.
Boyamin memasukkan sejumlah kepala desa di beberapa kecamatan di Tangerang, Banten, termasuk Tronjo dan Pulau Cangkir, ke dalam laporannya. “Ada beberapa oknum, siapa pun kepala desa atau perangkat desa yang ikut mengurus sejak tahun 2012 sampai 2022/2023,” jelasnya seperti dilansir Antara.
Selain MAKI, ada koalisi sejumlah tokoh antikorupsi yang melaporkan dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, (31/1). Mereka di antaranya eks Ketua KPK Abraham Samad, eks Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, eks Komisaris BUMN Said Didu, Ketua Riset dan Advokasi LBH Muhammadiyah Gufroni dan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad bersama sejumlah tokoh melaporkan dugaan korupsi ke KPK dalam kasus pagar laut Tangerang, Jumat (31/1/2025). (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
Abraham Samad selaku perwakilan koalisi menduga kuat adanya tindak pidana korupsi (tipikor) di dalam penetapan PIK 2 sebagai proyek strategis nasional (PSN). Oleh sebab itu, dia dan rekan-rekannya menyerahkan laporan kepada KPK untuk memeriksa penyelenggara negara dan pihak swasta yang diduga terlibat.
“Karena KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap penyelenggara negara sesuai dengan undang-undang maka selain penyelenggara negara, pihak swasta juga Aguan bisa diperiksa. Penyelenggara negara itu siapa? Mulai dari kementerian sampai aparat tingkat bawah Kabupaten, provinsi, maupun sampai yang paling di atas Jadi semua kita minta diperiksa,” jelas Samad di hadapan awak media.
“Kita bisa duga bahwa penetapan PIK menjadi PSN itu tidak terlepas dari praktek uang kongkalikong, praktek suap-menyuap. Dan lebih jauh kita bisa melihat bahwa disitu ada kerugian negara sebenarnya. Pasal 2 kerugian negara. Oleh karena itu ini menjadi kewenangan KPK. Dan kita sudah sampaikan langsung kepada pimpinan KPK,” tambahnya.
Pimpinan LBH Muhammadiyah Gufroni menyatakan bahwa pihaknya telah menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat mengenai pemagaran laut dan penerbitan SHGB palsu. Pada Jumat (17/1) pihaknya telah menyerahkan laporan tersebut kepada Bareskrim Polri. Sedangkan pada Jumat (31/1) dia mendapatkan informasi dari kepolisian bahwa laporannya telah masuk ke dalam tahap penyelidikan.
“Mudah-mudahan dalam waktu yang cepat Bareskrim Polri akan segera menetapkan dalang kasus pemagaran laut ini,” ucap Gufroni ketika ditemui di depan Gedung KPK pada Jumat (31/1/2025).
Penulis: Dhia Oktoriza