ICW Prediksi Pemberantasan Korupsi Era Prabowo Menuju Jalan Terjal

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait masa depan pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. (Foto: Antara)
FAKTA.COM, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait masa depan pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.
Peneliti ICW Yassar Aulia menyebut bahwa agenda pemberantasan korupsi akan menghadapi jalan menanjak yang sangat terjal. Prospek suram tersebut dibangun dari sejumlah persoalan yang mengemuka pada masa awal pemerintahan yang baru dilantik seperti manipulasi regulasi, dekriminalisasi korupsi, maraknya suap dan gratifikasi hingga pekerjaan masyarakat sipil yang semakin berat.
Hal tersebut disampaikan pada acara bertajuk “Catatan 100 Hari Prabowo-Gibran & Outlook Pemberantasan Korupsi 2025” yang digelar di markas ICW, Kalibata Timur, Kamis (23/1/2025).
Manipulasi Regulasi, Melindungi Korupsi
Pada Desember 2024, Presiden Prabowo melontarkan wacana pengampunan terhadap koruptor dengan syarat pengembalian uang hasil korupsi.
Menanggapi hal itu, ICW dengan tegas menyatakan bahwa pendapat Prabowo tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan pasal 4 dari Undang-undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.
Pasal itu, kata Yassar, menjelaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dari hasil korupsi itu sama sekali tidak menghapuskan tindak pidana dari pelaku korupsi.
Pernyataan Prabowo itu kemudian coba diterangkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang menyatakan bahwa amnesti koruptor bisa terealisasikan dengan ‘denda damai’ yang didasarkan pada UU No.11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan.
Supratman menyebut mekanisme ‘denda damai’ dalam UU Kejaksaan dapat digunakan. Namun, ICW menilai pernyataan ini keliru karena Pasal 35 Ayat 1 Huruf K UU Kejaksaan hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi tertentu, seperti pelanggaran cukai atau kepabeanan, dan tidak relevan dengan UU Tipikor.
“Pernyataan pemerintah yang hendak memaafkan koruptor adalah upaya untuk memanipulasi hukum dan bepotensi menimbulkan dampak buruk. Hal ini tentu patut untuk dikhawatirkan sebab situasi pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan sangat memprihatinkan,” kata Yassar.
Dalam pemantauan ICW selama 2019-2023, terjadi peningkatan signifikan pada jumlah perkara dan terdakwa kasus tipikor.
Data ICW mencatat 1.019 perkara dan 1.125 terdakwa, dengan puncaknya pada 2022 mencapai 2.056 perkara dan 2.249 terdakwa. Meskipun menurun pada 2023 menjadi 1.649 perkara dan 1.718 terdakwa, angka tersebut tetap 60 persen lebih tinggi dibandingkan lima tahun sebelumnya.
“Kami melihat dengan tidak adanya komitmen dalam penguatan substansi hukum pemberantasan korupsi, ICW memprediksi akan terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi dan kerugian negara akibat kasus korupsi di masa mendatang,” kata Yassar.
Yassar mengatakan instrumen hukum yang secara efektif dapat memberikan efek jera seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset justru tidak menjadi prioritas pemerintah. Ini ditunjukkan dengan tidak didorongnya RUU tersebut agar masuk ke Prolegnas 2025.
Upaya Dekriminalisasi Korupsi
ICW juga menyoroti potensi dekriminalisasi tipikor melalui dua upaya constitutional review terhadap Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah terpidana kasus korupsi. Mereka meminta MK menghapus atau menyatakan pasal-pasal yang diujikan sebagai inkonstitusional bersyarat.
Secara lengkap Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Sedangkan menurut Pasal 3 UU Tipikor, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Apabila dua gugatan itu dikabulkan, kata Yassar, esensi kekhususan dari pasal-pasal tersebut akan hilang dan semakin menumpulkan taji pemberantasan korupsi. ICW mencatat bahwa KPK telah dilemahkan secara sistematis pasca revisi UU KPK pada tahun 2019.
Yassar menjelaskan bahwa kedua pasal ini sudah digugat sebanyak enam kali sejak 2006. Ia menjelaskan justru pada saat ini kedua pasal tersebut semakin relavan.
“Keistimewaan dari dua pasal ini selaras dengan modus-modus korupsi yang semakin canggih dan rumit. Rumusannya mampu menjangkau kerumitan dari korupsi sebagai white-collar crime dan extraordinary crime," jelasnya.
Pekerjaan Masyarakat Sipil Semakin Berat
Dalam sistem demokrasi yang ideal legislatif berperan dalam mengawasi pemerintah supaya tidak terjadi korupsi atau penyelewengan kekuasaan dan keuangan negara. Mengenai hal tersebut, peneliti ICW Seira Tamara memproyeksikan bahwa pengawasan jalannya pemerintahan ke depan akan buruk.
“Anggota legislatif kita saat ini didominasi oleh anggota yang berasal dari partai pendukung pemerintah, sehingga dikhawatirkan tidak bisa menjalankan pengawasan terhadap jalannya eksekutif dengan baik,” jelasnya.
Dalam paparannya, Seira menyatakan pekerjaan masyarakat sipil akan semakin berat karena eksekutif dan legislatif didominasi oleh kepentingan politik yang saling mendukung.
“Potensinya yang akan mengawasi lagi-lagi masyarakat sipil karena eksekutif dan legislatifnya sibuk berbulan madu, sibuk saling mendukung satu sama lain. Hal ini tentu kami yakini sebagai suatu hal yang tidak sehat dalam proses demokrasi kita," keluh Seira.

ICW menyampaikan catatan 100 hari Prabowo-Gibran & outlook pemberantasan korupsi 2025. (Fakta.com/Dhia Oktoriza Sativa)
Kondisi itu, menurut Seira, diperparah dengan komposisi Kabinet Indonesia Maju (KIM) pimpinan Presiden Prabowo yang sangat politis. ICW mencatat setidaknya ada 23 nama menteri yang terkait partai politik dari total 48 menteri. Menurut ICW ini bertentangan dengan ucapan Prabowo Subianto yang menjanjikan kabinetnya bersifat ‘zaken’ atau berisi para ahli di bidangnya, bukan politisi.
KIM juga menjadi sorotan karena ukurannya yang gemuk. Ada 122 jabatan di dalamnya, termasuk 48 menteri, 56 wakil menteri, 5 kepala non-kementerian, 6 penasihat khusus, dan 7 utusan khusus presiden.
ICW yang mengutip taksiran lembaga Celios yang mencatat akan terjadi peningkatan anggaran hingga 1,95 triliun rupiah selama lima tahun mendatang untuk membiayai kabinet gemuk. Pembiayaan itu meliputi pemberian gaji staf pendukung, fasilitas kantor, hingga uang pensiun bagi menteri dan wakilnya.
Berbagai polemik dalam pembentukan kabinet itu, menurut ICW, menjadi gambaran ke depan bahwa pemerintahan akan sulit berjalan secara efektif. Keberadaan sejumlah figur di KIM yang pernah menjadi tersangka atau diduga terlibat dalam kasus korupsi juga membuat ICW ragu terhadap inisiatif pemerintah dalam memberantas korupsi.
Maraknya Suap dan Gratifikasi
Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK terbaru mengungkapkan 90% kementerian/lembaga dan 97% pemerintah daerah terindikasi suap dan gratifikasi. Menanggapi hal ini, ICW menyoroti perlunya pencegahan, pengawasan, dan peningkatan kapasitas pengelolaan pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Menurut ICW, pengelolaan PBJ di daerah masih lemah. Kompleksitas aturan dan kesulitan memperoleh sertifikasi ASN membuat area ini rentan korupsi. Berkaca pada kasus mantan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, peneliti ICW Dewi Anggraeni menjelaskan manipulasi PBJ sering dilakukan oleh orang-orang kepercayaan untuk memenangkan proyek tertentu.
Dewi menekankan pentingnya sistem pengaduan yang melindungi pelapor. Menurutnya, banyak ASN di PBJ menghadapi tekanan, baik dari atasan maupun risiko hukuman ketika berbicara bahkan jika hanya diam. Penguatan sistem whistleblower protection (WBS) dinilai krusial untuk memberantas korupsi.
Pernyatan Prabowo Terkait Pemberantasan Korupsi
Presiden Prabowo Subianto mengatakan pemberantasan segala bentuk praktik korupsi masih menjadi tantangan dalam pembangunan nasional.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam arahannya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029 di Ruang Rapat Djunaedi Hadisumarto, Kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, pada Senin, 30 Desember 2024.
Prabowo mengatakan budaya mark-up proyek, penyelundupan, dan manipulasi anggaran harus dihapuskan karena merugikan negara dan rakyat. Ia menegaskan aparat pemerintah memiliki peran penting dalam memastikan pengelolaan anggaran yang bersih dan transparan.
“Penggelembungan mark-up barang atau proyek itu adalah merampok uang rakyat. Kalau proyek nilainya 100 juta, ya 100 juta. Bikin rumah 100 juta ya 100 juta, ya jangan 100 juta dibilang 150 juta. Budaya ini harus dihilangkan,” kata Prabowo dikutip dari laman presidenri.go.id.
Prabowo juga mendorong penerapan teknologi digital, seperti e-katalog dan e-government, untuk meminimalisasi peluang korupsi dalam birokrasi. Dia menginstruksikan seluruh jajaran pemerintah, termasuk yudikatif dan legislatif, untuk bekerja sama demi menciptakan pemerintahan yang bersih.
“Kita harus hentikan kebocoran-kebocoran. Sekali lagi saya ingatkan aparat pemerintah sangat menentukan, aparat pemerintah sangat menetukan kebocoran-kebocoran untuk dihentikan,” kata Prabowo.
Penulis: Dhia Oktoriza Sativa