Mahfud: Kasus Pagar Laut Harusnya Segera Dipidanakan

Pakar hukum tata negara Mahfud MD menyindir kasus pagar laut Tangerang yang masih ditangani di level administrasi. (Antara)
FAKTA.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara Mahfud MD menilai kasus pagar laut Tangerang mestinya sudah jadi kasus pidana, tak cuma diproses secara administrasi.
"Kasus pemagaran laut, seharusnya segera dinyatakan sbg kasus pidana, bkn hny ramai2 membongkar pagar," kata dia, dalam unggahannya di X, Sabtu (25/1/2025).
"Segerakah lidik dan sidik. Di sana ada penyerobotan alam, pembuatan sertifikat ilegal, dugaan kolusi-korupsi. Tetapi kok tdk ada aparat penegak hukum pidana yg bersikap tegas?" sindir dia, yang merupakan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan era Presiden Jokowi itu.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid mengungkap 263 sertifikat ilegal di pagar laut Tangerang.
Itu terdiri dari 234 bidang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang atas nama perseorangan. Di samping itu, ada 17 bidang sertifikat hak milik (SHM) di kawasan yang sama.
Mahfud menilai penerbitan HGB itu ilegal karena diterapkan terhadap perairan yang jelas melanggar perundangan.
"Sertifikat ilegal HGB utk laut tak bs hanya dbatalkan tapi hrs dipidanakan krn merupakan produk kolusi melanggar hukum," cerus dia.
Sertifikat ilegal HGB utk laut tak bs hanya dbatalkan tapi hrs dipidanakan krn merupakan produk kolusi melanggar hukum. Vonis MK No. 3/PUU-VIII/2010 dan UU No. 1 Thn 2014 jelas melarang pengusahaan perairan pesisir utk swasta ataupun perorangan. Kasus ini beda loh dgn reklamasi.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) January 28, 2025
Ia setidaknya menyinggung dua pelanggaran perundangan dalam kasus ini. Yakni, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3/PUU-VIII/2010. Putusan tersebut menganulir konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP–3) yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007, yang juga memunculkan konsep baru soal izin pemanfaatan pulau-pulau kecil.
"Vonis MK No. 3/PUU-VIII/2010 dan UU No. 1 Thn 2014 jelas melarang pengusahaan perairan pesisir utk swasta ataupun perorangan. Kasus ini beda loh dgn reklamasi," ujar Mahfud, yang merupakan mantan Ketua MK itu.
Masalahnya, sejauh ini langkah yang diambil pemerintah dalam kasus pagar laut Tangerang baru bersifat hukum administrasi dan teknis.
"Pd-hal tindak pidana jelas: merampas ruang publik dgn sertifikat ilegal. Pasti ilegal melalui kolusi-korupsi. Aneh, blm ada penetapan lidik dan sidik sbg kasus pidana," ucap Mahfud.

Agung Sedayu Grup, perusahaan milik Aguan, mengklaim memiliki sertifikat di pagar laut Tangerang karena dulunya daratan. Padahal, peta garis pantai dari tahun-tahun lampau pun tak pernah menyatakan demikian. (Antara)
Sandera oligarki
Sementara itu, Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Syamsuddin Haris menyindir para pejabat negara tersandera oleh para oligarki.
"Jika para pejabat negara tersandera utang budi kpd oligarki yg menguasai ekonomi, kapan negeri ini bisa maju?" kicau dia lewat akun X @sy_haris, belum lama ini.
Ia pun mendorong Presiden Prabowo Subianto "unjuk keberanian & ketegasan dgn tdk mberi toleransi kpd mereka bila mlanggar hukum."
"Negara harus selalu hadir utk rakyat & bangsa kita," ujar Syamsuddin, yang juga merupakan Guru Besar Ilmu Politik tersebut.
Jika para pejabat negara tersandera utang budi kpd oligarki yg menguasai ekonomi, kapan negeri ini bisa maju? Krn itu saatnya Presiden @prabowo unjuk keberanian & ketegasan dgn tdk mberi toleransi kpd mereka bila mlanggar hukum. Negara harus selalu hadir utk rakyat & bangsa kita.
— Syamsuddin Haris (IG: syamsuddin_haris) (@sy_haris) January 25, 2025
Menurut Mahfud, kepala-kepala lembaga negara sebenarnya tak perlu risau dengan penyelidikan kasus pagar laut. Pasalnya, yang bakal dijerat adalah dalang utama dan mereka yang benar-benar terlibat langsung.
"Menteri2 yg kementeriannya terlibat dlm pembuatan izin dan HGU Laut tak hrs takut. Yg bertanggungjawab scr pidana adl aktor intelektual, pelaku, dan peserta yg ada niat," urai dia.
"Yg bertanggungjawab scr pidana adl pejabat bawahan yg menerima delegasi wewenang. Jd, kalau merasa tak terlibat ya bongkar sj, Pak Menteri. Kan byk kasus yg dihukum hny dirjen atau pegawai bawahnya yg langsung berkolusi," ungkap Mahfud.
"Serahkan mereka yang melanggar hukum hukum bukti2nya ke aparat penegak hukum. Tak perlu menutupi kasus dgn alasan demi marwah institusi."
Proses di kementerian dan lembaga
Sejauh ini, kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, itu tengah diselidiki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Tindak lanjut yang akan dilakukan Kementerian Kelautan Perikanan adalah yang pertama melanjutkan proses investigasi dan pemeriksaan terhadap pembangunan panggar laut yang telah dilakukan penyegelan oleh Polsus KKP sesuai dengan peraturan yang berlaku," kata Sakti Wisnu Trenggono, usai Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Sebagai bagian tahap penyelidikan, KKP terus mengupayakan pemanggilan terhadap pihak yang mengklaim sebagai pemilik pagar laut.
"Mereka akan kita panggil," kata Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pung Nugroho Saksono.
KKP sudah memeriksa dua orang nelayan yang sebelumnya mengklaim sebagai pemilik pagar laut ilegal tersebut.
"Kalau pihak sudah kita panggil, tapi pengakuannya belum juga maksimal. Belum bisa kami dijadikan tersangka. Tapi, akan kami dalami terus, sampai kalau bisa ada (tersangkanya)," jelasnya.
Dalam proses pidana di lembaga penegak hukum, Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sudah melaporkan kasus ini ke KPK, serta LBH PP Muhammadiyah dan koalisi masyarakat sipil sudah mengadukannya ke Bareskrim Polri. Namun, kedua lembaga itu belum menyatakan proses penyelidikan dimulai.
Dalam proses administrasi, Nusron Wahid sudah memeriksa empat orang pejabat kantor pertanahan wilayah Tangerang, Banten, terkait penerbitan SHGB dan SHM pagar laut. Mereka adalah Kepala Pertanahan, Kepala Seksi 1 dan Kepala Seksi 2 serta Kepala Pertanahan yang pada saat itu proses pergantian.
"Yang jelas Kakantah pada masa itu menjabat. Kepala Seksi 1, Kepala Seksi 2, Kepala Kantah proses pergantian. Saya gak boleh sebut nama. Pokoknya jabatannya saja," ungkap Nusron, dalam konferensi pres di Tangerang, Jumat (24/1/2025).
Terpisah, Mantan Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN Raja Juli Antoni meyakini kasus HGB pagar laut Tangerang ini tak melibatkan jajaran menteri atau wakil menteri.

Eks Wamen ATR/BPN Raja Juli Antoni, yang merupakan kader PSI, membantah keterlibatan menteri/wamen di kasus setifikat pagar laut. (Fakta.Com/Dewi Yugi Arti)
Sebab, kata dia, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pelimpahan Kewenangan Penetapan Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, terutama Pasal 12, penerbitan SHGB adalah wewenang Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah).
"Oleh karena itu saya haqqul yaqin penerbitan sertifikat-sertifikat tersebut di luar pengetahuan menteri, wakil menteri dan para pejabat di kementerian. Begitulah regulasi yang berlaku," klaim dia, melansir Antara, Sabtu (25/1/2025).
"Sekitar 6-7 juta penerbitan sertifikat tiap tahunnya didelegasikan wewenang penerbitannya kepada Kakantah di kabupaten kota se-Indonesia dari Sabang sampai Merauke," lanjut dia, yang kini menjabat Menteri Kehutanan itu.
Merespons pengakuan itu, Mahfud menilai alasan Raja Juli bisa saja dibenarkan.
"Bisa saja dia memang tak tahu. Tapi terlepas dari soal dia tahu atau tidak tahu, setelah masalah tersebut terbongkar spt. sekarang maka tak ada alasan utk tidak memproses pidana kasus ini," tandas dia. (ANT)