Menag Minta KPK Kawal Dana Haji, Memangnya Ada yang Tega Korupsi?

Menteri Agama Nasaruddin Umar mendatangi KPK untuk pendampingan soal dana haji, di Jakarta, Kamis (24/1/2025). (Fakta.com/Hendri Agung)
FAKTA.com, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar meminta pendampingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) demi mencegah korupsi dana haji. Serawan itukah potensi korupsi duit jemaah ini?
Umar meminta pendampingan di mulai dari tahap pendaftaran jemaah hingga proses pengadaan barang dan jasa ibadah haji.
“Kali ini kami datang lagi khusus untuk minta pendapingan dalam pelaksanaan haji,” kata dia, usai audiensi dengan KPK bersama Kepala Pelaksana Badan Pengelolaan Haji Fadlul dan Kepala Badan Penyelenggara Haji Mochammad Irfan Yusuf, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (23/1/2024).
Ia menyebut bahwa banyak potensi masalah di proses pendaftaran pelaksanaan ibadah haji, proses pengadaan operasional, seperti hotel hingga katering, di Arab Saudi.
“Kami sampaikan semuanya apa yang berpotensi masalah,” ujarnya. “Tapi nanti juga kami akan memohon KPK ikut menyertai kami (Kemenag) juga di tanah suci,”.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua KPK Agus Joko Pramono mengatakan rekomendasi yang diberikan berkaitan dengan regulasi pengelolaan dana yang bersumber dari jemaah atau masyarakat dan negara.
“Itu membutuhkan suatu pembentukan regulasi yang cukup sehingga proses pengadaan barang dan jasa di internal yang berdasarkan peraturan yang ada di dalam negeri itu relevan juga untuk diterapkan dengan pengadaan barang dan jasa yang ada di luar negeri,” ujarnya.
Selain rekomendasi pengadaan barang dan jasa, dia menyebut bahwa KPK telah memberikan banyak rekomendasi lain kepada Kemenag mengenai pelaksanaan haji.
Kemenag, Joko melanjutkan, telah menindaklanjuti sebagian besar rekomendasi yang telah diberikan
“Sebagian besar dari rekomendasi ini sudah ditindaklanjuti oleh kementerian agama dan pada pokok-pokok tertentu yang masih dalam proses adalah terkait dengan pengaturan-pengaturan itu,” imbuhnya
Di tempat yang sama, Kepala Badan Penyelenggara Haji (BPH), Mochammad Irfan Yusuf, mengatakan salah satu rekomendasi KPK proporsi biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang lebih besar ketimbang nilai manfaat dalam biaya haji yang berlaku hingga kini.
Selain itu, Irfan juga mengatakan BPH telah merekrut tujuh mantan penyidik KPK.
“Kita tarik tujuh orang mantan penyidik di KPK untuk bergabung dengan BPH,” ujarnya.
Kehati-hatian Nasaruddin ini beralasan lantaran ada beberapa kasus korupsi atau dugaan korupsi haji. Berikut rinciannya:
Tudingan korupsi pengalihan kuota haji

Menag Yaqut Cholil Qoumas diduga diserang Pansus Haji terkait konflik antara PBNU dan PKB. (Antara)
Di masa kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas, Kemenag diserang tudingan korupsi pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus oleh DPR. Sampai-sampai, anggota dewan membuat Panitia Khusus (Pansus) Angket Pengawasan Haji DPR.
"Bukan hanya ada indikasi pelanggaran terhadap UU, tapi kami juga mencium adanya indikasi korupsi dalam pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus," kata Anggota Pansus Luluk Nur Hamidah, Juli 2024, dikutip dari Antara.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief meminta Pansus Haji untuk membuktikan tuduhan korupsi itu.
"Dibuktikan saja," ujar dia, mengutip Antara.
Hilman mengatakan kuota haji khusus yang diambil dari kuota tambahan adalah ketentuan dari Arab Saudi.
Kementerian Haji Saudi bersama Kemenag RI sebelumnya melakukan simulasi-simulasi soal potensi kepadatan di Mina. Saat simulasi, kepadatan di Mina yang sudah tidak bisa dihindari lagi, utamanya di maktab yang ditempati jamaah Indonesia. Apabila dipaksakan maka akan mengancam keselamatan jiwa.
"Dalam MoU antar-menterinya (Menteri Agama RI dan Menteri Haji Saudi), angkanya memang segitu. Kan kita gak boleh jual-jual sembarangan," kata Hilman.
Menag Yaqut ketika itu mengaku siap mengikuti setiap proses evaluasi penyelenggaraan ibadah haji 2024.
"Ya kita ikuti saja. Itu proses yang disiapkan konstitusi. Jadi kita ikuti saja," kata dia, yang merupakan adik dari Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf itu.
Pansus tersebut di akhir 2024 menerbitkan lima rekomendasi terkait pelaksanaan haji, termasuk revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta UU Pengelolaan Keuangan Haji, di samping mendorong sistem yang lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota haji, terutama ibadah haji khusus.
Sejauh ini, belum ada bukti kuat korupsi yang ditindaklanjuti ke proses hukum.
Korupsi Haji Suryadharma Ali

Mantan Ketum PPP dan Menag, Suryadharma Ali, terbukti pernah korupsi haji. (Antara)
Melansir Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, kasus korupsi kakap terkait haji pernah terjadi dua kali.
Salah satu yang terjerat adalah Menteri Agama periode 2009-2014, Suryadharma Ali. Pada 22 Mei 2014, KPK menetapkan mantan Ketua Umum PPP itu sebagai tersangka atas kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2010-2013.
Suryadharma curang dalam pengangkatan petugas panitia penyelenggara haji di Arab Saudi dan memanfaatkan sisa kuota haji untuk beberapa orang yang dipilihnya agar bisa naik haji gratis.
Ia juga terbukti menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) yang bersumber dari APBN untuk kepentingan pribadinya, seperti berobat anaknya serta keperluan wisata.
KPK menyebut total DOM yang diselewengkan oleh Suryadharma mencapai Rp1,8 miliar.
Suryadharma pun divonis 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidair tiga bulan kurungan, serta uang pengganti Rp1,8 miliar.
Pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ditolak, hakim justru memperberat hukumannya menjadi 10 tahun penjara.
Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun, terhitung setelah selesai menjalani masa hukuman penjara.
Korupsi Dana Abadi Umat Said Agil

Said Agil Husin Al Munawar, yang merupakan pakar tafsir Al-Qur'an, pernah terjerat kasus korupsi haji. (dok. NU Online/Istimewa)
Sosok Menag kedua yang terjerat korupsi haji adalah Said Agil Husin Al Munawar (2001-2004). Ia terbukti bersalah dalam korupsi Dana Abadi Utama dan dana penyelenggaraan ibadah haji.
Dalam persidangan, menurut KPK, Said mengakui telah menerima uang Rp4,5 miliar dan mengklaimnya sebagai dana taktis dan tunjangan. Menurut dia, dana itu telah sesuai prosedur kepegawaian.
Pada 7 Februari 2006, Said divonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan, serta wajib membayar uang pengganti kerugian negara Rp2 miliar subsider 1 tahun penjara.
Ketua Majelis Hakim Cicut Sutiarso menyatakankan, selama menjadi menteri, Said terbukti menggunakan dana itu bukan hanya untuk penyelenggaraan ibadah haji, “melainkan untuk keperluan lain,"
"Seperti membiayai perjalanan anggota Komisi VI DPR, ongkos haji atau umrah sejumlah tokoh masyarakat, membiayai perjalanan hakim agama Mahkamah Agung, serta memberikan sumbangan yang tidak sesuai dengan peruntukan,” menurut Hakim.