Menagih Transparansi Amnesti 44 Ribu Napi

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas telah mengumumkan rencana pemerintah memberikan penghapusan hukuman atau amnesti. (ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan)
FAKTACOM, Jakarta – Menteri Hukum Supratman Andi Agtas telah mengumumkan rencana pemerintah untuk memberikan penghapusan hukuman atau amnesti kepada ribuan narapidana (napi) di seluruh Indonesia. Pemberian amnesti harus dibarengi transparansi.
Pengumuman itu disampaikan oleh Supratman usai rapat terbatas yang diikuti sejumlah menteri dan dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka pada Jumat, 13 Desember 2024.
Dilansir dari presidenri.go.id, pemberian amnesti tak hanya dilakukan demi melonggarkan ruang penjara, tapi juga atas dasar nilai-nilai kemanusiaan serta mendorong rekonsiliasi dan stabilitas sosial di berbagai wilayah, termasuk Papua.
Siapa saja yang akan menerima amnesti?
Setidaknya, ada empat golongan napi yang direncanakan menerima amnesti. Pertama, napi kasus politik terkait polemik independensi Papua tapi tanpa senjata. Kedua, napi yang sakit berkelanjutan seperti penderita HIV/AIDS dan gangguan kejiwaan.
Ketiga, napi kasus peghinaan kepala negara yang dijerat dengan pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Keempat, napi kasus narkotika yang sebetulnya korban dan harus direhabilitasi.
Menurut Supratman, berdasarkan data sementara dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), ada sekitar 44 ribu napi yang berpotensi diusulkan untuk memeroleh pengampunan dari pemerintah. Tapi, jumlah tepatnya masih dalam proses klasifikasi dan asesmen.
“Prinsipnya, Presiden setuju untuk pemberian amnesti. Tapi selanjutnya kami akan meminta pertimbangan kepada DPR,” jelas Supratman seperti dilansir dari presidenri.go.id.
Pemberian amnesti tak bisa sembarangan dan sepihak. Sebagaimana diatur pasal 14 ayat 2 UUD 1945; “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Wacana pengampunan napi koruptor
Tak lama setelah pemerintah menyampaikan rencananya untuk memberikan amnesti massal, Presiden Prabowo melemparkan wacana pengampunan untuk para koruptor saat di Mesir pada 18 Desember 2024.
“Hei para koruptor, kalau kau kembalikan, mungkin kita maafkan. Tapi, kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan kembalikan,” kata Prabowo.

Presiden RI Prabowo Subianto melemparkan wacana pengampunan untuk para koruptor.
Gagasan Presiden Republik Indonesia ini membuat gempar publik. Kejahatan luar biasa seperti korupsi seharusnya tidak masuk daftar amnesti pemerintah.
Menteri Hukum Supratman mencoba memberikan klarifikasi atas wacana tersebut di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta pada 23 Desember 2024. Melansir Antara, Supratman menyatakan pelaku tindak pidana korupsi tak bisa begitu saja diberikan amnesti atau grasi.
Ia menegaskan bahwa pemberian keringanan hukuman itu tetap terikat pada pasal 14 UUD 1945.
“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” ujar Supratman di hadapan awak media.
Dalam kesempatan yang lain, Supratman menerangkan tidak ada napi koruptor yang ada dalam daftar calon penerima pengampunan masal.
“Menyangkut soal amnesti yang 44 ribu yang sementara kami siapkan bersama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, sama sekali dari 44 ribu itu tidak ada satupun terkait dengan kasus korupsi,” tukas politisi Partai Gerindra ini saat jumpa pers di Kementerian Hukum, Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Transparansi data penerima amesti
Demi menjaga supaya amnesti hanya diterima oleh para napi yang pantas mendapatkannya, publik perlu dilibatkan untuk mengawasi nama-nama yang akan dimasukkan ke daftar penerima pengampunan. Tapi hingga akhir pekan pertama Januari 2025, belum ada kejelasan dari pemerintah soal masalah tersebut.
“Intinya nanti kalau dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) datanya sudah ada, pasti kami akan buka ke publik,” ucap Supratman usai acara Pencanangan Komitmen Bersama Pembangunan Zona Integritas dan Launching Transformasi Digital Kemenkum di Jakarta, Selasa, (7/1/2025), dilansir dari Antara.
Supratman mengaku dirinya belum bisa melakukan apa-apa jika belum ada basis data calon napi penerima amnesti dari Kementerian Imipas. Saat ini pihaknya masih terus berhubungan dengan Menteri Imipas terkait kemajuan data tersebut. Ia hanya bisa berharap masalah ini selesai pada pekan depan.

Overkapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi alasan utama mendorong amnesti.
Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR), dilansir dari icjr.or.id, menyepakati amnesti massal yang digagas pemerintah atas dasar kemanusiaan. Namun lembaga ini memberikan sejumlah catatan soal transparansi dan akuntabilitas dalam proses kebijakan ini.
Menurut ICJR, pemerintah seharusnya tak hanya fokus pada publikasi data calon Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) penerima amnesti, tapi juga perlu menaruh perhatian lebih pada legitimasi pemberian amnesti.
ICJR menilai bahwa overkapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi alasan utama yang mendorong amnesti. Terhadap hal ini, pemerintah dituntut untuk fokus pada WBP yang sejak awal tidak layak dipenjara karena kerangka hukum yang bermasalah.
Menurut data Direktorat Jenderal Permasyarakatan, per 13 Januari 2025, jumlah keseluruhan penghuni penjara di Indonesia adalah 271.544 orang. Angka tersebut jauh melampaui daya tampung lembaga permasyarakatan yang hanya sebesar 145.474 orang. Masalah ini mendorong pemerintah untuk membuat terobosan amnesti massal.
ICJR berpendapat amnesti massal ini setidaknya harus diatur dalam peraturan menteri demi menjamin standarisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amesti, sampai dengan diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan DPR.
Tanpa adanya kebijakan yang mengatur tentang mekanisme pemberian amnesti, jelas ICJR, maka akan ada kerancuan mekanisme uji atau komplain yang dapat ditempuh jika ada pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti tersebut.
Selanjutnya, ICJR mengingatkan pemerintah untuk memerhatikan perlindungan data pribadi dari para napi yang akan dipublikasikan. Demi mendorong konsistensi pemerintah terkait amnesti, ICJR mendorong komitmen pemerintah untuk menghapuskan kerangka hukum yang tak sejalan dengan upaya penghindaran kriminalisasi dan penggunaan penjara yang berlebihan.
Dalam hal ini, ICJR menilai perlunya dilakukan revisi peraturan yang bermasalah seperti UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menjerat pengguna narkoba untuk kepentingan pribadi. Selain itu, ICJR melihat kriminalisasi penghinaan presiden dalam UU No. 1/2023 tentang KUHP yang baru juga perlu dihapuskan.
Reintegrasi Pasca Amnesti
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyatakan napi penerima amnesti harus mengikuti pendidikan pengetahuan tentang HAM agar lebih humanis ketika kembali di tengah masyarakat.
Menurutnya, orang-orang yang dipenjara itu berasal dari berbagai kasus, mulai dari narkotika, penganiayaan, hingga pembunuhan. Sehingga, katanya, para terpidana itu mempunyai pola pikir yang berlawanan dengan HAM. Ini adalah bagian dari upaya pencegahan
“Jadi kementerian sebagai pemerintah punya tanggung jawab, jadi kami mencegah, memproteksi,” kata Pigai di sela kunjungan kerja di Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta, dikutip Antara, Rabu (8/1/2024).
Gagasan lain soal reintegrasi para napi penerima amnesti datang dari Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Ia menyatakan bahwa pemerintah akan merumuskan kewajiban mengikuti program komponen cadangan (komcad) bagi napi berusia produktif sebagai syarat menerima amnesti.
“Komcad memang tidak wajib bagi warga negara yang lain, tetapi kalau Presiden mengatakan ‘siapa yang akan bersedia untuk dilatih jadi komcad, diberi amnesti’, bisa. Itu nanti kita rumuskan,” kata Yusril saat dijumpai di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, Jumat (20/12/2024), seperti diberitakan Antara.
Yusril menjelaskan syarat komcad itu nantinya diberikan kepada narapidana kasus narkotika. Mereka akan dilatih dan disalurkan untuk membantu program-program pemerintah.
“Anak-anak ini, yang muda-muda ini dilatih disiplin, baris-baris, segala macam, dan kemudian diterjunkan ke daerah-daerah yang sekarang ini menjadi program pemerintah.”
Ia kemudian menyebut program swasembada pangan di Papua dan Kalimantan sebagai destinasi tugas yang potensial.
Penulis: Dhia Oktoriza Sativa