114 Narapidana Disebut Tunggu Eksekusi Mati Lebih dari 10 Tahun

Ilustrasi. Ratusan napi menungg eksekusi mati. (Antara)
FAKTA.com, Jakarta – Sebanyak 114 dari total 628 orang terpidana mati di Indonesia telah menunggu eksekusi lebih dari sepuluh tahun. Hal ini dinilai sebagai dua kali penghukuman.
“Setelah mereka mendapatkan vonis mati, narapindana ini harus menunggu lagi selama sepuluh tahun bahkan ada yg lebih dari sepuluh tahun untuk kapan nih saya bisa dieksekusi ini,” kata Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha Apriliasari, dalam penyampaian laporan ‘Catatan HAM di Indonesia: Pemenuhan HAM Seperlunya, Citra Penguasa Seutuhnya’, disiarkan lewat kanal Youtube Imparsial, dikutip Jumat (27/12/2024).
Menurut Anissa, waktu tunggu ini merupakan pelanggaran HAM ganda yang dilakukan oleh negara terhadap narapidana atau warga binaan.
Pelanggaran yang pertama adalah dijatuhkannya vonis hukuman mati merupakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM kedua ialah masa tunggu eksekusi yang lama yang memicu penderitaan berkepanjangan, baik secara mental maupun fisik.
"Jadi ini memberikan punishment atau hukuman untuk yang kedua kalinya dan ini kami melihat sbagai pelanggaran negara terhadap warga negaranya atau khususnya mereka yg sudah divoneis mati," cetus dia.
Pelanggaran HAM ganda yang menyebabkan penderitaaan berkepanjangan ini disebutnya sebagai ‘death row phenomenon’.
“Mereka tidak memiliki kepastian kapan mereka akan dieksekusi mati setelah mereka mendapat vonis pidana mati itu sendiri,” ujar Anissa.

Pintu gerbang lapas di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Senin (15/5/2023). Lokasi ini biasanya menjadi tempat eksekusi terpidana mati. (ANTARA/Sumarwoto)
Ia menambahkan bahwa proses hukuman mati di Indonesia rentan pelanggaran HAM lantaran proses hukum yang dikorupsi. Selain itu, ada biaya besar yang meti dikeluarkan untuk eksekusi mati terhadap seorang narapidana, yakni sekitar Rp200 juta.
“Itu juga rentan korupsi apalagi sekali eksekusi mati itu anggaranya sangat besar, Dan misalnya kalau dalam satu kali eksekusi mati bisa dua atau tiga orang itu bisa sangat membengkak,” imbuh dia.
Padahal, kata Annisa, hukuman mati ini dipertanyakan efektivitasnya. Contoh, pada 2024 ada 57 hukuman mati, dengan 45 di antaranya merupakan kasus narkoba, dan 12 lainnya kasus pembunuhan.
"Justru ada peningkatan [kasus] di tahun 2023 dengan melihat [data] yang menunjukkan adanya lonjakan kasus narkotika sebesar 7 persen di tahun 2024," urai dia.
"Sebenernya hukuman mati itu efeknya tidak efektif dalam pengurangan jumlah kasus kejahatan atau tindak pidana yang terjadi," sambung Annisa.
Pada 2019, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengatakan pihaknya menunda eksekusi terpidana mati lantaran menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah terlebih dulu.
"Ada beberapa perkara yang belum inkracht. Pasti kami akan eksekusi," ujar dia, di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (25/10/2019) dikutip dari Antara.
Menurutnya, terpidana yang proses hukumnya belum selesai harus diberikan dulu haknya. Tujuannya, untuk memastikan ada atau tidaknya perubahan putusan terhadap terpidana mati itu.
"Maksimal berikan haknya dulu, kalau suatu saat ternyata ada perubahan kan sudah dihukum mati," tutur Burhanuddin.
Menurut Roni Efendi dari Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, dalam jurnalnya bertajuk, 'Konstitusionalitas Masa Tunggu Eksekusi bagi Terpidana Mati dalam Sistem Pemidanaan', 2019, mengungkap ada kekosongan hukum dalam hal masa tunggu terpidana mati.

Kejaksaan Agung berwenang mengeksekusi terpidana mati. (ANTARA)
"Karena undang-undang hanya mengenal faktor-faktor yang dapat menunda eksekusi pidana mati. Dengan tidak diaturnya batas masa tunggu eksekusi bagi terpidana mati, maka menurut penulis terjadi kekosongan hukum," tuturnya dalam makalah yang diterbitkan di situs MKRI itu.
"Kekosongan ini harus segera dipenuhi, yaitu dengan membentuk suatu peraturan baru, atau merevisi peraturan yang sudah ada untuk mengatur batas masa tunggu eksekusi bagi terpidana mati dalam sistem pemidanaan," urai dia.
Akibat ketidakjelasan masa tunggu eksekusi bagi terpidana mati dalam sistem pemidanaan, Roni menganalisis sejumlah akibat negatif, yakni:
1. Tidak tercapainya efek penjeraan (detterent effect).
2. Tidak tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
3. Tidak tercapainya keadilan.
4. Tidak tercapainya kepastian hukum.
5. Tidak terwujudnya kemanfaatan hukum.