DPR Perlu Gunakan Hak Angket Tangani Kekerasan Polisi

Anggota Polrestabes Semarang Aipda R, terduga pelaku penembakan siswa SMKN 4 Kota Semarang, GRO memasuki ruang sidang Bidang Propam Polda Jateng di Semarang, Senin (9/12/2024). (ANTARA/I.C. Senjaya)
FAKTA.COM, Jakarta - Pengamat hukum tata negara, Bivitri Susanti kritisi kekerasan yang kerap dilakukan polisi. Dia mengutip Pasal 30 UUD NKRI 1945 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara, bukan alat kekuasaan.
Beleid tersebut menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
“Itu catatan penting karena kalau kita cek mana dalam struktur bernegara kita yang menggunakan istilah alat negara itu memang hanya kepolisian, TNI, kemudian BIN. Pakai istilah alat negara sebenarnya tujuannya adalah untuk mengatakan bahwa kepolisian ini tidak boleh jadi alat kekuasaan," tuturnya dalam konferensi pers "Temuan Amnesty International Indonesia Terkait Kekerasan Polisi di Indonesia" di Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024).
Dalam menangani police brutality ini, Bivitri berujar seharusnya DPR menggunakan hak angket. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Jadi kalau pertanyaannya adalah kita mungkin tidak sih mendorong betul-betul ada hak angket itu? Pertama bahwa hak itu ada, menurut saya memang perlu diaktivasi. Karena DPR kita sudah sekian lama ditidurkan. Kita semua ini kan sebenarnya masyarakat sipil, cuma beda saja profesinya," ucap Bivitri.
Kompolnas Belum Panggil Kadiv Propam
Sementara itu, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Gufron Mabruri, mengatakan Polri sedang menyusun Grand Design hingga tahun 2045 dan Rencana Strategis (Renstra) hingga tahun 2029. Nantinya, baik Grand Design maupun Renstra ini dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan catatan kritis tentang kekerasan polisi.
"Nantinya akan ada pelembagaan internal memastikan culture [kekerasan polisi] tadi ke depan bisa diputus," ungkap Gufron.
Kendati begitu, Gufron mengaku Kompolnas belum melakukan pemanggilan terhadap Kadiv Propam Irjen Pol Abdul Karim terkait masalah penggunaan kekuatan berlebihan yang sudah meresahkan masyarakat.
"Baru sebulan sejak dilantik, masalah penggunaan kekuatan berlebihan merupakan agenda prioritas Kompolnas. Ya, nanti kita akan diskusikan secara internal soal kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan oleh Kompolnas itu apa saja, sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewenangan yang dimiliki oleh Kompolnas itu," jawab Gufron ketika ditanya mengenai pemanggilan terhadap Kadiv Propam terkait police brutality.
Gufron pun mengaku Kompolnas sudah memberikan atensi terhadap Revisi Undang-Undang Polri yang masuk ke dalam RUU Prolegnas 2024-2029.