Kekerasan Polisi Sistematis akibat Kebijakan Internal Kepolisian

Amnesty International Indonesia paparkan penelitian terkait kekerasan Polisi di Indonesia di Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta, Senin (9/12/2024). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
FAKTA.COM, Jakarta - Amnesty International Indonesia setelah melakukan investigasi mendalam selama tiga bulan atas unjuk rasa damai yang terjadi di 14 kota pada 22-29 Agustus 2024 lalu, menyimpulkan adanya kebijakan polisi (police policy) di balik berulangnya pemolisian kekerasan yang sistematis dan meluas. Hal itu mereka paparkan dalam konferensi pers "Temuan Amnesty International Indonesia Terkait Kekerasan Polisi di Indonesia" di Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024).
Selama kurun waktu itu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi. Rinciannya, 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air, sedikitnya 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya, 65 lainnya mengalami kekerasan berlapis termasuk kekerasan fisik dan penahanan inkomunikado, dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara. Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada.
“Kekerasan polisi yang berulang adalah lubang hitam pelanggaran HAM. Investigasi kami serta bukti visual berupa video menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan tidak proporsional secara berulang adalah kebijakan kepolisian, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri atau melanggar perintah atasan mereka,” ungkap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Peristiwa kekerasan aparat kepolisian bukanlah peristiwa di mana aparat polisi melakukan tindakan itu sendiri-sendiri atau aparat itu melakukan tindakan dengan melanggar perintah atasannya, melainkan sebuah kebijakan kepolisian alias police policy.
Itulah alasannya kenapa sampai hari ini tidak ada polisi yang mendapatkan hukuman. Sebagai contoh misalnya ketika ada masyarakat ramai melaporkan kekerasan dan brutalitas dalam peristiwa 22-29 Agustus, Kadiv Propam Irjen Pol Abdul Karim, mengatakan bahwa sudah memeriksa seluruh standar operasional prosedur dan tidak ada yang salah. “Semuanya sudah sesuai dengan prosedur," ucap Usman, mengutip pernyataan Polri.
Menurut Usman, kekerasan polisi dalam kasus-kasus tersebut telah melanggar UUD NKRI 1945 khususnya Pasal 28E (3), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (1976), Kode Etik Aparat Penegak Hukum (1979), dan Pedoman Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api (1990), termasuk yang telah diadopsi oleh Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
“Seluruh landasan aturan ini mewajibkan polisi mematuhi prinsip-prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas dalam penanganan unjuk rasa,” pungkasnya.