Pemulangan Mary Jane Tanpa Timbal Balik Berdasarkan "Practical Arrangement"

Menko Kumham Imipas RI, Yusril Ihza Mahendra dan Wakil Menteri Kehakiman Filipina, Raul Vazquez sepakati pemulangan Mary Jane di Jakarta, Jumat (6/12/2024). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
FAKTA.COM, Jakarta - Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan tidak ada permintaan timbal balik (resiprokal) dari pemerintah Indonesia terhadap kasus ini. Ia menekankan pemerintah Indonesia secara sukarela mengembalikan Mary Jane kepada Filipina karena hubungan diplomatik.
"Sampai saat ini tidak ada [permintaan] apa-apa, ini secara sukarela kami penuhi permohonan dari pemerintah Filipina dalam kasus Mary Jane ini. Kami memahami hal ini sudah dibicarakan antara kedua negara lebih dari 10 tahun dan tidak [pernah] ada keputusan, karena mungkin pemerintah sebelumnya merasa belum ada UU yang menjadi dasar hukum yang kuat untuk memindahkan Mary Jane ke Filipina," ujar Yusril dalam konferensi pers joint statement di Kantor Kementerian Kumham Imipas, Kuningan, Jakarta, Jumat (6/12/2024).
Yusril mengatakan hal ini lumrah terjadi karena pemerintah Indonesia pun berusaha untuk memulangkan warga negara Indonesia yang dihukum mati di luar negeri, sama seperti yang dilakukan Filipina.
Pihaknya belum mendapat data terkait apakah ada orang Indonesia dihukum mati di Filipina. Namun, WNI dihukum mati di Malaysia jumlahnya banyak sekali. Tapi belum ada pembicaraan apa pun dengan pihak Malaysia.
Belum lama ini, RI perlu mengusahakan pemulangan wanita dari Madura yang membunuh suaminya dan dihukum mati di Saudi Arabia, tapi akhirnya berunding dan dibayar Diyat. Diyat ialah denda yang dibayarkan oleh pelaku pembunuhan atau penganiayaan kepada keluarga korban. Hal tersebut sudah dilakukan dan wanita itu telah dipulangkan ke Indonesia.
Yusril menambahkan kesepakatan pemulangan Mary Jane tidak dituangkan dalam bentuk agreement atau perjanjian, karena perjanjian membutuhkan ratifikasi.
"Ini tidak perjanjian tapi ini disebut dengan practical arrangement. Jadi hanya untuk kasus ini saja. Tidak berlaku untuk kasus yang lain, karena itu tidak ada aturan umum yang perlu diratifikasi oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Filipina," ucap Yusril.
Menurut Yusril, peristiwa ini merupakan suatu legal finding atau penemuan hukum dalam mengatasi sebuah kebutuhan. Dimana hukum Indonesia sekarang sudah perlahan beralih dari hukum kontinental Belanda menjadi hukum common law yang berdasarkan pada praktik kebiasaan.
"Jangan sampai karena alasan tidak ada aturan hukum, negara itu tidak dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Kalau kebiasaan dengan Filipina ini berjalan terus dia menjadi konvensi dalam hukum kita. kira-kira begitu," tutupnya.
Ekstradisi Narapidana Narkotika
Menanggapi pemulangan narapidana narkotika Mary Jane Veloso ini, pakar hukum pidana UNAIR, Amira Paripurna, menyebut untuk tindak pidana narkotika memang dimungkinkan untuk dilakukan ekstradisi.
"Untuk tindak narkotika dimungkinkan untuk dilakukan ektradisi," kata Amira dalam pesan WhatsApp yang dikirimkan kepada FAKTA, Jumat (6/12/2024) malam.
Apa Itu Practical Arrangement?
Pakar hukum internasional UNAIR, Aktieva Tri Tjitrawati, menjelaskan tidak semua perjanjian internasional (treaty) harus diratifikasi seperti yang dinyatakan oleh Yusril.
"Suatu treaty harus diratifikasi jika treaty yang bersangkutan mensyaratkan demikian, atau konstitusi negara mensyaratkan demikian. Sebenarnya VCLT tidak mensyaratkan nama tertentu untuk penyebutan treaty. Sepanjang memenuhi unsur-unsur an international agreement, concluded between states (or International Organization), governed by International law, dan in written form. Jika sudah memenuhi unsur-unsur tersebut maka disebut sebagai treaty," terang Aktieva dalam wawancara bersama FAKTA, Jumat (6/12/2024).
Dengan demikian, practical arrangement juga dapat disebut sebagai perjanjian internasional (treaty). Hal ini karena perihal nama treaty tidak diatur dengan rumusan "whatever its particular designation".
Bahkan, Aktieva menambahkan, apabila terdapat suatu perjanjian diberi nama MoU pun, jika telah memenuhi unsur-unsur yang ia sebutkan, maka perjanjian tersebut termasuk perjanjian internasional (treaty).
Namun, Indonesia masih memiliki permasalahan dalam internalisasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Belum ada ketentuan hukum yang jelas bagaimana internalisasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, apakah Indonesia menganut sistem transformasi atau inkorporasi.
"Problem perjanjian Indonesia bukan di level hukum internasional, melainkan dalam hukum nasional. Hukum nasional termasuk konstitusi kita belum menata dengan baik bagaimana proses keikutsertaan Indonesia dalam pembentukan perjanjian internasional, termasuk bagaimana merumuskan kepentingan nasional dalam naskah perjanjian internasional. Hal yang sama juga terjadi dalam proses internalisasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional," tutur Aktieva.
Jika menganut transformasi, semua perjanjian internasional yang diikuti harus diundangkan kembali dalam hukum nasional, tidak cukup hanya dengan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional. Tapi praktik di Indonesia terkadang transformasi dan terkadang inkorporasi. Masalah practical arrangement ini bermuara dari faktor-faktor tersebut.